Monday, December 16, 2013

Deja Vu

Seperti deja vu yang jalan ceritanya sudah dapat ditebak.
Berulang-ulang, bertahun-tahun, pemicu kehadirannya tetap selalu sama; pejantan.
Saking seringnya terulang dengan presisi yang nyaris mutlak, aku sampai khatam polanya.
Kelak kelok ekstrim hingga penyimpangan sekecil 1 derajat pun aku hafal.
Kadang ada taman bunga, pemandangan indah, dan jurang terjal, tapi pada ujungnya selalu nyemplung di sumur bau taik.
Letih, bosan, malas dengan keteraturan pola ini, akupun diam, tak mau lagi coba pijak garis start-nya.

Saturday, October 12, 2013

Let's keep it all clean!

A Picture from The Jakarta Globe on Facebook shows about polluted and dirty condition of Bali, the island of Gods, Indonesia.



In some cases like this, people are usually saying that it is caused by the government's disability in managing the wastes, or it is caused by the lack of environmental awareness within our society, so the sanitary condition in Indonesia is not in a good level.


Indeed, those are the major factors that cause these sanitary issues, but I think it is a kind of useless to keep pointing out to others while we are doing nothing.


I have started some little changes on myself regarding to these issues, like refusing plastic bags when I buy only a few small items or when I buy something that I'm going to use immediately, throwing organic and unorganic wastes at their places, or keeping my candy wrap in my pocket when I can't find any public trash can, and that is why sometimes I can find candy wraps and their friends in my pocket when I want to do my laundry. ^^v

Those steps might sound useless or insignificant, but what i keep in my mind is, if hundreds or thousands people do the same things or even better, sure it will give a big impact to our environment.


So, let's keep it all clean!

Cute Babies, I want mine!

A few weeks ago I had a little chit chat with two friends of mine who I had not caught up for months.

The first one was my childhood friend, three years older than me, she was the one whom I spent my childhood adventure with, from climbing trees to climbing our roof. She currently lives in Yogyakarta with his husband. The second one was my partner when I was interning in a Public Relations agency, she diforced with her first husband, has 2 cute daughters, and a few months ago she was married to a guy from our office.
So from my chit chat with those two friends of mine, I heard that they are now pregnant and wating for their new babies. I am very happy for them, and that news, unexpectedly, led me to craving for a baby. Sounds freak, huh? Yeah, I think so. But let me explain.

My litttle brother
Recently i always spend my free time in front of computer while browsing some hot issues and videos on youtube. By chance, i found a video of baby Charlotte who said "no, no, no" on youtube, then I clicked more related videos, stuck for hours in those kind of videos, and became addicted in watching those cute little babies, until now. Basically i really like babies, especially the boys who have just learned to say their first words, and fortunaltely I also have a 3 years old litlle brother in Lampung and have not been seeing him for 2 months. Missing my little brother and loving to see cute babies, maybe those are the reason why I react a bit too much everytime I see or hear something related to babies.

Cute babies, i want mine too!
I realize that it is very sick, how come a soon be 21 years old girl, without boyfriend moreover husband, craving for her own baby? Well, maybe I am. This baby fever makes me really think about mine. By mine I mean my turn to have one. When or how would it be? Would I be a good wife and mother? Would it feel as amazing as when i watched those baby videos on youtube or when I heard those stories about babies?
Well we'll see..

Anyway this is the baby charolette video that led me to another cute little baby videos.


Here are some pictures of my little brother when he was 1 or 2 years old.

Monday, September 9, 2013

Telur, bukan Burung!

Sebuah Analogi

Kau pernah begitu mendambakan telur, dulu.

Rasanya seperti mimpi saat tiba-tiba sepasang telur menclok di jendela kita.

Kau pun lompat kegirangan, kau elus-elus sepasang telur itu.
Kau titipkan satu telur yang lebih kecil dan berwarna coklat muda untuk kujaga, memang kau lebih suka yang berukuran besar dan berwarna terang.


Suatu hari telur besarmu yang berwarna terang itu retak, keluarlah seekor burung mungil dan ringkih berbulu kelam.
Kau menangis tersedu-sedu, karena kau mendambakan telur, bukan burung.

Beberapa hari kemudian burung kecil ringkih berbulu kelam itu menjadi semakin besar dan kuat, kaupun mulai tersenyum.
Nanti dia bisa memberikan kita telur-telur baru, katamu.

Tapi tak lama kemudian burung itu terbang ke langit ketujuh, tak kembali.
Kau pun meratap sesenggukan, kali ini sedihnya 2 kali lipat daripada saat kau kehilangan telurmu yang menetas.

Aku pun bingung, kulihat kota hitamku. Masih ada satu lagi kok, telur kecil berwarna coklat muda yang kau titipkan padaku waktu itu.

Tapi nanti telur yang ini pun juga akan menetas menjadi seekor burung ringkih, sedihmu akan menjadi 4 kali lipat, dan burung ringkih itu pun nanti akan menjadi kuat dan terbang ke langit ketujuh, sedihmu akan menjadi 8 kali lipat.
Jadi kupikir lebih baik kupecahkan saja telurmu yang kecil dan berwarna coklat muda ini, supaya sedihmu hanya akan menjadi 4 kali lipat.

Tanpa tedeng aling-aling kuraih telur kecil coklat muda itu, dan kucampakkan ke sudut daun jendela kita.
Plok! Pecah.
Dan kali ini malah kau yang terbang meninggalkanku.

Jakarta, 8 September 2013
Saat sedang dongkrong di atas jamban.

Friday, July 26, 2013

Celah-Celah Terbaik

Sebuah catatan kecil saat menunggu lampu merah.

Seperti air, mereka bergerak luwes mengisi setiap celah-celah kosong. Kecepatannya nyaris menandingi sel jantan yang melesat memburu sel betinanya. Katanya sih memang harus cepat, karena ini merupakan kompetisi sengit untuk memperebutkan celah-celah terbaik.


Namun seperti semacam kontradiksi, masing-masing dari mereka juga memiliki kode naluriah alami yang seolah-olah telah melalui serangkaian musyawarah akbar hingga akhirnya diamini dan dimandatkan;
"Bergeser serapat mungkin agar dapat menciptakan celah-celah baru bagi mereka yang terancam tergusur karena gagal merengkuh celahnya."

Manis sekaligus kejam, para penunggang kuda-kuda besi, penakluk jalan-jalan ibukota.

Image from Google

Tuesday, March 26, 2013

An Escape to Yogyakarta (Part 2-End)


Continued from An Escape to Yogyakarta


Day One

Hari pertama di Jogja bisa dikatakan adalah hari paling produktif dibandingkan dengan hari-hari berikutnya bila ditinjau dari aspek intensitas jalan-jalan. Setelah beristirahat sejenak kami langsung menuju ke kampus ISI untuk sarapan sekaligus makan siang, kemudian kami mengobrol bersama teman-teman dari ISI hingga akhirnya tercetus ide untuk menghabiskan malam bersama-sama. Saat itu kami berjumlah 8 orang, yang terdiri dari Saya, Bang Anju, Tigor, Naomi, Yohana, Angga, Mika, dan Adi. Karena cuaca Jogja malam itu sedang gerimis, kami pun akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah mobil Kijang Innova selama 12 jam dengan harga Rp100.000 tanpa supir dan bensin. Cukup murah jika dibandingkan harga sewa mobil di kota lain.

Suasana malam Jogja yang sepi
Sekitar pukul 21.00 kami berangkat tanpa arah dan tujuan yang jelas, sampai akhirnya Yohana mengusulkan untuk pergi ke sebuah Café bernama Lucifer. Kesan maksiat langsung terlintas di kepala saya saat pertamakali mendengar nama ini. Namun setelah Yohana menjelaskan mengenai tempat ini akhirnya kami pun tertarik dan langsung berangkat ke Lucifer.

Cafe Lucifer dengan cahaya merah temaram
Sesampainya di Lucifer tiba-tiba kami menjadi ragu untuk masuk karena melihat wanita-wanita berpakaian minim berdiri di depan pintu, ditambah suasana remang-remang merah, mebuat tempat ini terlihat mistik bagi saya. Setelah saling tarik-menarik dan dorong-mendorong akhirnya kami pun masuk ke Lucifer. Kami mengambil tempat duduk di lantai 2 dengan pandangan langsung ke arah panggung. Hiburan di tempat ini berupa live band dengan seorang penyanyi pria dan seorang penyanyi wanita yang melantunkan lagu-lagu pop dan rock modern juga lawas. Kami semua menikmati lagu-lagu yang dilantunkan sampai tiba-tiba seorang waiter mengantarkan 1 pitcher bir dingin seharga Rp 105.000 yang entah dipesan oleh siapa. Bir di Lucifer ini rasanya agak aneh, seperti dicampur dengan air.

Setelah menyanyikan beberapa lagu tiba-tiba kedua penyanyi Lucifer tersebut berhenti dan menyapa para tamu, kelompok kami pun tak lupa mereka sapa. Dan entah ilmu apa yang mereka miliki sehingga mengetahui bahwa kami adalah orang luar Jogja yang sedang liburan. Mereka pun meminta salah satu dari kami untuk maju ke panggung untuk bernyanyi bersama mereka. Entah mengapa saya menjadi tumbal yang disodorkan oleh teman-teman. Saya pun ke panggung dan menyanyikan lagu Adele berjudul Someone Like You yang mungkin terdengar sumbang. Sekitar pukul 23.00 para penyanyi berhenti bernyanyi dan hiburan di Lucifer pun diganti dengan musik elektro yang diputar dari laptop. Tak lama kemudian kami pun meninggalkan Lucifer.

Setelah meninggalkan Lucifer kami langsung menuju suatu tempat di dataran tinggi Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan “bukit bintang”. Kami menikmati malam dingin dengan jagung bakar dan minuman hangat sambil memandangi kemilau lampu kota Yogyakarta dari ketinggian. Beberapa jam kami lewatkan di bukit bintang ini, hingga akhirnya pemilik warung jagung bakar yang kami singgahi itu mengusir kami dengan halus, kami pun kembali ke kota Yogyakarta.

Masih terasa terlalu senja kami pun enggan untuk kembali beristirahat. Berbekal minuman dingin, makanan ringan, dan satu set kartu remi dari sebuah convenience store kami pun duduk-duduk di pinggir jalan depan gedung Vredeburg sambil bermain kartu. Waktu terasa cepat berlalu sampai tiba-tiba kami sadar waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Ide liar pun menyeruak. Kami akan mengejar sunrise di pantai daerah Wonosari. Saat itu kondisi teman-teman yang lain terlihat kurang meyakinkan untuk menyetir. Mika, yang sejak awal perjalanan menyetir, tiba-tiba sinusnya kambuh. Jadi berhubung kami sudah sangat antusias untuk mengejar sunrise dan saya sudah banyak mencuri banyak kesempatan tidur di perjalanan, akhirnya sayalah yang menyetir hingga ke pantai Wonosari dengan bermodal nekat karena buta jalan.

Pantai yang kami tuju semula adalah pantai Baron. Pantai Baron adalah salah satu pantai yang berada di daerah Wonosari. Wonosari merupakan salah satu kabupaten di provinsi Yogyakarta dengan posisi daratan yang cukup tinggi. Unik memang, biasanya pantai berada di dataran rendah tapi pantai-pantai di daeran Wonosari ini terletak di dataran tinggi. Perjalanan dari kota Yogyakarta menuju pantai Baron memakan waktu sekitar 2 jam. Jalur yang kami lalui bisa dikatakan cukup ektrim dengan tikungan-tikungan tidak terduga dan pencahayaan jalan yang kurang memadai. Ditambah lagi kabut tebal di sepanjang jalan Wonosari yang menyisakan jarak pandang hanya sejauh 7 meter dan sangat menyulitkan saya untuk menyetir.

Pagi berkabut di Wonosari
Namun semua perjuangan melewati jalan-jalan berliku itu terbayarkan saat kami mendekati daerah pantai wonosari. Pagi yang berkabut dengan udara yang begitu sejuk mebuat saya begitu terpesona. Beberapa kali saya menjulurkan tangan saya ke udara melalui jendela dan mendapatinya sedikit basah ketika menariknya kembali. Saya benar-benar terkagum oleh ciptaan Tuhan yang tidak biasa saya lihat ini. Beberapa kali kami singgah untuk bertanya arah pada penduduk sekitar hingga akhirnya kami sampai di persimpangan jalan, kanan menuju pantai baron dan kiri menuju pantai kukup. Saat itu juga secara tiba-tiba kami beralih haluan menuju arah pantai kukup, padahal rencana awal ingin ke pantai Baron.

Tiada sama sekali penyesalan sesampainya kami di Pantai Kukup, yang ada hanyalah sukacita dan rasa takjub luar biasa akan indahnya paradise yang terhampar di hadapan mata saya. Sungguh, dengan mengesampingkan sifat hiperbola natural saya, pantai ini adalah pantai terindah yang pernah saya lihat seumur hidup saya. Hamparan pasir putih tebal yang menenggelamkan mata kaki saya ketika melintasinya, disambut dengan karang sejauh 70 meter penuh biota laut kecil yang sekaligus menjadi benteng penghadang menuju bibir laut, benar-benar menunjukkan keangkuhan laut yang seolah enggan dijamah makhluk luar.













Sunrise pertama di Pantai Kukup


Gubuk untuk menikmati pemandangan luas Pantai Kukup
Jalan menuju Gubuk di atas bukit
Pemandangan dari atas bukit
Saya sedikit unjuk diri
Bang Anju menunjukkan jati dirinya sebagai fotografer

Hamparan karang sekaligus benteng pertahanan di bibir laut
Pantai Kukup ini memang pantai yang “boleh dipandang, dipegang jangan”. Kita hanya dapat memandang keindahannya tanpa dapat bersatu dengannya, karena disamping posisi laut dan pantai yang dipisahkan oleh hamparan karang sejauh 70 meter, amukan ombak di pantai ini juga bisa dibilang ganas. Namun meskipun demikian pantai ini tetap saja mampu memusaskan unsure indrawi saya dengan pesona kecantikannya yang begitu alami. Sekitar 1 jam saya lalui dengan memisahkan diri dari rombongan. Saya benar-benar ingin menikmati keindahan itu dengan kelima indera saya sendiri tanpa terinterupsi oleh obrolan-obrolan pemecah konsentrasi. Adakalanya memang, kesendirian mampu menciptakan atmosfer ajaib yang mampu menciptakan ketenangan hati.
Setelah puas menikmati keindahan Pantai Kukup kami pun kembali ke Yogyakarta dan beristirahat untuk menebus dosa tidak tidur semalaman.
Matahari yang sudah mulai meninggi

Day Two

Setelah cukup beristirahat sepulang dari perjalanan melelahkan sekaligus menyenangkan ke Pantai Kukup saya pun menghubungi salah satu sepupu saya, Yohannes Redhoi Sigiro (Bang Redhoi), yang kebetulan bertugas di daerah Sleman, Yogyakarta. Sekitar pukul 18.30 Bang Redhoi menjemput saya dan kami pun pergi ke pusat kota Jogja. Kami pergi ke Malioboro untuk membeli liontin salib pesanan Opung (Nenek) kami. Kami menyusuri Malioboro dari ujung pangkal sampai ke ujung tempat Mirota Batik. Di sepanjang malioboro kami membeli sebuah miniatur sepeda onthel dan 3 buah kacamata hitam. Sepeda onthel ini kami dapatkan dengan harga Rp50.000 dari penawaran awal seharga Rp125.000, sedangkan 3 buah kacamata kami dapatkan dengan harga Rp10.000 per buah dari penawaran awal seharga Rp25.000.


Bang Redhoi dengan kacamata boboho barunya
Miniatur sepeda onthel yang menjadi favorite saya

Musisi jalanan mengalunkan melodi keroncong Manuk Dadali
Malioboro ini memang tidak ada matinya. Sejak 5 tahun lalu sampai sekarang saya tetap jatuh cinta dengan lokasi ini. Di sepanjang jalan malioboro kita bisa mendengar dan melihat berbagai pertunjukan yang dilakukan oleh para musisi-jalanan. Kami sempat berhenti sejenak untuk menikmati salah satu pertunjukan musik keroncong yang dilakukan di jalur lambat Malioboro. Kemudian setelah sampai blok Mirota Batik kami sempat mampir sejenak untuk melihat-lihat. Di dalam Mirota Batik ini saya juga sempat terpesona melihat seorang pria dengan set pakaian khas Yogyakarta mengalunkan melodi-melodi klasik dari sebuah grand piano.

Pianis memainkan melodi klasik di Mirota Batik
Puas melihat-lihat dan menelusuri Malioboro, kami pun kembali ke titik awal Malioboro tempat kami memarkir kendaraan dengan menggunakan becak. Becak di Jogja ini juga unik, agak sedikit nungging ke belakang. Becak yang kami tumpangi ini menetapkan tarif sebesar Rp15.000 dari mirota batik hingga ke pangkal Malioboro. Saya sangat menikmati malam di malioboro itu, alunan musik-musik tradisional dari para musisi jalanan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang terasa dari atas becak benar-benar membuat malam itu begitu berkesan bagi saya.

Sedikit cuplikan alunan keroncong Manuk Dadali yang sempat saya rekam :

Selepas dari Malioboro, saya mengajak Bang Redhoi untuk singgah di Kalimilk Senturan untuk menemui teman-teman lama saya. Kalimilk adalah sebuah tempat makan dengan menu utama minuman dari susu sapi. Ada bermacam-macam susu sapi tersedia di Kalimilk, mulai dari yang asli sampai yang telah diolah dengan berbagai macam rasa. Kalimilk ini memiliki 2 lokasi di Yogyakarta, yang satu adalah yang kami kunjingi ini, terletak di Senturan, sedangkan yang satu lagi terletak di Kaliurang. Beberapa jam kami lewatkan di Kalimilk Senturan ini, sampai akhirnya kami pulang dan mampir untuk makan di sebuah tempat makan pinggir jalan. Di tempat makan ini saya memesan Ayam Rica-Rica dan Bang Redhoi memesan Mie Godhok. Ayam Rica-Rica Jogja ini rasanya berbeda dengan Ayam Rica-Rica di tempat lain, sangat manis dan tidak cocok dengan selera lidah saya.

Day Three

Hari ketiga kami di Jogja saya habiskan bersama bang Anju. Kami berkelana dengan mengendarai motor, dan seperti biasa, tanpa tujuan yang jelas. Siang di Jogja hari itu sangat panas. Kami singgah sebentar untuk membeli tiket pulang di sebuah agen travel, dan kali ini saya pastikan, tiket yang dibeli bukanlah tiket kereta kelas ekonomi seharga Rp45.000. Untuk pulang kami memesan tiket kereta kelas Ekonomi AC dengan harga Rp140.000, berangkat pada hari Jumat, 22 Maret 2013 pukul 16.50 dari stasiun Lempuyangan, dan sampai pada hari Sabtu, 23 Maret 2013 pukul 02.30 di stasiun Senen.

Salah satu gedung berasitektur oriental di Taman Sari
Setelah membeli tiket akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Taman Sari, istana air di daerah kota, dekat dengan Keraton Yogyakarta. Taman Sari ini adalah sebuah situs sejarah yang dulunya dipakai oleh Raja (Sultan) untuk mandi dan menenangkan pikiran. Untuk masuk ke Taman Sari pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp3.000 per orang. Di Taman Sari ini kami dipandu oleh seorang tour guide yang membawa kami berkeliling Taman Sari hingga menjangkau sudut-sudut yang biasanya tidak terjangkau oleh turis biasa yang datang tanpa pemandu. Dari tour guide ini kami mendapatkan berbagai informasi mengenai Taman Sari, baik dari sisi sejarah dan fungsi bangunan, hingga keadaan penduduk yang tinggal di sekitar tempat itu. Bahkan tour guide kami tersebut tak sungkan untuk membawa kami keliling pemukiman sekitar dan mengenalkan kami pada pengrajin batik modern di sekitar lokasi tersebut. Untuk perjalanan keliling area Taman Sari dan segudang informasi menarik seputar Yogyakarta tersebut kami memberikan tips pada tour guide kami sebesar Rp30.000.

Pengrajin pakaian lukis dengan tinta batik di kawasan Taman Sari
Taman Sari bagian depan
Dinding pemukiman sekitar Taman Sari
dengan lukisan tokoh wayang

Puas berkeliling Taman Sari kami pun singgah ke sebuah warung kopi di depan Pasar Ngasem. Awalnya kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke candi Prambanan di daerah Sleman, namun karena tidak kuat dengan terik matahari yang begitu menyengat siang itu akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali dan beristirahat. Menjelang malam kami bersama Tigor mengunjungi sebuah tempat nongkrong bernama Warung Njero Kampung yang terletak di belakang kampus ISI Jogja. Di warung ini para senior Tigor di kampus ISI melakukan jamming session dengan tema musik Pop Jazz. Melodi-melodi yang dilantunkan oleh para mahasiswa tersebut sangat indah dan profesional, padahal mereka melakukannya dengan spontan dan dipilih langsung secara acak oleh MC. Sungguh para mahasiswa berbakat, semoga nantinya mereka dapat menyumbangkan karya-karya original yang mampu mendongkrak kualitas musik Indonesia.

Malam ketiga yang sekaligus malam terakhir kami di Jogja ini akhirnya saya tutup bersama Tigor dan Bang Anju dengan makan di sebuah tempat makan lesehan pinggir jalan yang terletak di depan sebuah pusat elektronik Jogja, Progo. Tempat ini terkenal dengan nama Nasi Goreng Papilon dan menyediakan makanan olahan dengan campuran daging babi. Saya tidak begitu ingat menu apa saja yang tersedia, karena saya hanya memesan makanan favorit yang paling terkenal dan bahkan menjadi nama sebutan bagi tempat ini, nasi goring papilon. Rasanya luar biasa enak menurut saya. Nasi goreng dengan campuran daging babi dipotong dadu dan telur dadar yang digoreng tidak terlalu matang, sungguh memanjakan perut saya yang sudah semakin menggelambir. Nasi goreng papilon ini tersedia dalam porsi biasa dan porsi jumbo. Saya memesan porsi biasa sedangkan Bang Anju dan Tigor memesan porsi jumbo. Harga makanan super lezat ini ternyata tidak terlalu mahal, kami hanya mengeluarkan uang sekitar Rp56.000 untuk mememenuhi lambung 3 orang dengan kenikmatan.

Day Four

Hari terakhir di Jogja. Tidak terasa hari ini tiba, padahal saya masih sangat belum puas menggali tempat-tempat menarik di kota yang selalu membuat saya jatuh cinta ini. Hari terakhir ini kembali saya habiskan dengan sepupu saya, Bang Redhoi. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah The House of Raminten. Kami sarapan sekaligus makan siang di sini. The House of Raminten merupakan salah satu tempat unik yang wajib dikunjungi ketika di Jogja, sebuah restoran dengan suasana tradisional yang dimiliki oleh Hamzah, seorang transgender yang juga memiliki Mirota Batik dan Mirota Bakery. Tempat ini menyediakan berbagai macam makanan dengan wadah yang masing-masingnya sangat unik. Ada gelas sebesar gayung mandi, ada gelas seperti vas bunga ramping setinggi 50cm, ada pula mangkok makanan berbentuk seperti perahu. Untuk masalah rasa, sebenarnya aneka makanan di The House of Raminten ini tidak terlalu juara menurut saya, hanya saja suasana restoran yang cozy dan homy serta berbagai keunikan perabot maupun interior yang dimiliki oleh Raminten memang merupakan daya jual tersendiri yang menjadi magnet bagi para pemburu makanan di Jogja.
Gelas minuman super jumbo di The House of Raminten

Setelah selesai makan dan berbincang santai di Raminten, kami pun langsung menuju ke rumah Bang Redhoi yang terletak di daerah Sleman. Sebelum sampai ke rumahnya kami mampir sebentar ke sebuah pusat oleh-oleh untuk membeli bakpia. Kemudian sesampainya di rumah Bang Redhoi kami asik berbincang-bincang hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 yang berarti kami harus segera meluncur ke Stasiun Lempuyangan yang lokasinya lumayan jauh dari Sleman untuk mengejar kereta saya yang dijadwalkan berangkat pukul 16.50. Kami sampai di stasiun pada pukul 16.30, saat itu saya langsung mencoba menghubungi Bang Anju namun dia tidak menjawab. Beberapa menit saya coba hubungi dan akhirnya berhasil, saya sangat panik ketika mengetahui bahwa Bang Anju masih berada di Malioboro saat itu. Kereta berangkat 10 menit lagi dan dia masih asik berjalan-jalan di Malioboro.

Pukul 16.45 Bang Anju pun tiba di Stasiun dengan diantar oleh Tigor dan Naomi. Tanpa banyak babibu kami pun langsung mengeluarkan kartu identitas masing-masing dan masuk ke gerbong kereta kami. Hanya sekitar 5 menit duduk, kereta kami pun langsung berjalan. Saat itulah saya mendapat kabar dari Bang Redhoi bahwa ada penumpang lain yang baru datang setelah kami masuk, namun dia tidak diizinkan masuk karena sudah terlambat dari jadwal, padahal sebenarnya kereta kami masih parkir dengan anggun di rel-nya. Betapa beruntungnya saya dan Bang Anju yang datang sangat tepat pada waktunya, tidak terbayang bila ternyata kami tidak boleh masuk hanya karena terlambat 1 menit dari jadwal.

Sedikit keisengan saya dengan Bang Anju di kereta saat perjalanan pulang
Seperti halnya perjalanan jarak jauh pada umumnya, perjalanan pulang memang selalu lebih cepat dari pada saat berangkat. Mungkin pada kaus ini memang karena kami menggunakan kereta yang lebih nyaman saat pulang, sehingga perjalanan pun tidak terlalu terasa melelahkan. Sepanjang perjalanan pulang, saya dan Bang Anju lebih banyak tidur, mungkin kami sudah terlalu kelelahan karena kurang tidur selama 4 hari terakhir di Jogja. Perjalanan 10 jam pulang ini tidak terasa berlalu hingga tiba-tiba waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dan kami sudah kembali sampai di stasiun keberangkatan kami dari Jakarta 5 hari yang lalu.

Badan pegal-pegal yang saya rasakan saat sampai di Jakarta mampu memberikan stimulus bagi otot bibir saya untuk menyunggingkan senyuman. Senyuman puas akan semua susah payah dan kesenangan yang saya alami selama pelarian ke Jogja. Sebuah anomal memang, dimana sekujur tubuh saya terasa sangat pegal dan mata saya terasa sangat lelah namun hati saya terasa begitu senang. Jogja adalah sebuah kota yang telah merebut hati saya. Jogja dengan tampilan alam dan masyarakatnya yang unik serta hangat benar-benar menghipnotis saya hingga merasakan ketenangan dan kenyamanan yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Jogja dengan kehidupan sosial serta budayanya yang otentik menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi saya untuk terus kembali ke kota ini. Jogja dengan setiap inchi-nya telah membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi. Jogja adalah tempat dimana suatu saat saya akan menghabiskan masa tua saya dengan orang yang saya cintai. Semoga saja…

An Escape to Yogyakarta - End

Monday, March 25, 2013

An Escape to Yogyakarta

Beberapa waktu terakhir ini kepala saya terasa seperti bom atom yang sewaktu-waktu siap untuk meledak.
Sebenarnya tidak seburuk itu, tapi kurang lebih isi kepala saya benar-benar terasa ruwet dan memusingkan. Sejak bulan September lalu saya mulai menyusun skripsi saya mengenai Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang cukup menyita banyak sel dalam otak saya, kemudian Januari lalu saya juga mengambil program magang di sebuah creative agency yang di situ saya ditempatkan di divisi Public Relations. Beruntungnya saya, meskipun sebagai anak magang ternyata perusahaan mempercayakan saya untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sedikit, sehingga magang pun, seperti skripsi, ikut menyita banyak sel dalam otak saya. Sampai akhirnya pada tanggal 16 Maret 2013 lalu kontrak magang saya selesai, dan perusahaan ternyata meminta saya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai salah satu pegawai tetap.  Namun atas pertimbangan skripsi saya yang sudah mulai terbengkalai dan sisa waktu pengerjaan yang sudah tinggal sedikit, akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak melanjutkan bekerja di perusahaan ini, meskipun jauh di lubuk hati terdalam saya sudah merasa cukup nyaman dengan atmosfer perusahaan ini.

Sebagai seseorang yang agak sedikit hiperbola, saya menganggap skripsi itu sebagai hantu kejam yang terus menerus meneror dan mengintimidasi saya setiap saat sehingga saya merasa seperti ketakutan untuk hanya sekedar menilik folder skripsi dalam komputer saya. Sebenarnya keadaan skripi saya tidak seburuk itu. Sejauh ini saya sudah menyelesaikan sampai BAB 3 dan hanya tinggal melanjutkan penelitian, BAB 4 dan seterusnya. Namun karena hiperbolanya saya (termasuk dalam hal kemalasan), skripsi tersebut pun tak kunjung terjamah meskipun sebenarnya saya tidak sesibuk itu sampai harus meninggalkan pekerjaan demi untuk mengerjakan skripsi saya (hihihi). Sifat hiperbola ini juga yang akhirnya menuntun saya untuk membuat sebuah program refreshing dan penenangan pikiran sebelum melanjutkan skripsi, dan Yogyakarta adalah kota yang saya pilih untuk melaksanakan program ini, mengingat saya memang sudah lama sekali ingin kembali ke kota ini sejak 5 tahun lalu saya menginjakkan kaki saya untuk pertamakalinya di kota pelajar ini saat study tour SMA.

Peta Yogyakarta (source : website bpkp)
Rencana ke Yogyakarta ini (selanjutnya saya akan menyebutnya Jogja) sebenarnya saya lakukan dengan mendadak dan tanpa perencanaan matang, berbekal obrolan ngalor ngidul dengan salah satu teman gereja saya, Anju, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja bersama dia tanpa persiapan tiket, penginapan, dan itinerary yang jelas. Tiket berangkat kami dibeli oleh Bang Anju pada h-3 keberangkatan di stasiun Senen dengan rute Senen-Lempuyangan. Saya pasrah akan keadaan kereta kami nanti, yang saya tahu hanya, kami berangkat pada hari Senin, 18 Maret 2013, pukul 20.30, dari stasiun Senen menggunakan kereta AC Ekonomi.

Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, saya meluncur ke stasiun Senen dengan membawa sebuah ransel dan tas jinjing berisi makanan ringan untuk bekal di kereta. Pukul 20.15 saya tiba di stasiun dan langsung bertemu Bang Anju yang sudah menunggu di stasiun sejak pukul 19.00. kami mengobrol sebentar dengan salah satu penumpang kereta yang juga hendak berangkat ke Jogja menggunakan kereta yang sama dengan kami. Beberapa menit mengobrol, kami pun check in dan masuk ke dalam kereta. Dan pada saat memasuki gerbong kereta saya mendapati bahwa Bang Anju telah mengelabuhi saya, karena ternyata tiket kereta yang ia pesan adalah tiket kelas ekonomi dengan harga Rp 45.000 per tiket dari Jakarta hingga ke Jogja, tiket kelas ekonomi yang benar-benar ekonomis, tiket kelas ekonomi dengan kondisi gerbong yang sumpek, panas, dan sangat bau. Ini adalah kali pertama saya ke luar kota menggunakan kereta, dan kalipertama ini pula saya gunakan kereta ekonomi seperti ini. Saya sungguh sangat kaget saat itu, tidak terbayangkan di benak saya harus berada di kereta itu dalam waktu 10 jam lebih. Sungguh, perasaan saya pada saat itu sangat tidak karuan, saya hanya bengong sambil berjalan mengikuti Bang Anju yang cengengesan mencari tempat duduk kami, dan dalam hati saya berfikir “What the fuck am I doing here?”.

Bukannya saya bersikap arogan atau sombong, tapi biar saya analogikan dan anda coba simpulkan sendiri. Dengan uang Rp 45.000 di Jakarta mungkin kita hanya bisa mendapatkan satu kali makan siang di sebuah restoran junk food, tapi di sini, Rp45.000 itu bisa mengantarkan saya dari Jakarta hingga ke Jogja dengan waktu tempuh lebih dari 10 jam dan jarak lebih dari 500km. Bisakah terbayangkan seberapa besar peminimalisiran kondisi kereta demi untuk menutupi operasional dengan sumbangsih ongkos dari setiap penumpang yang hanya sebesar Rp45.000 dari Jakarta hingga ke Jogja?

Beginilah sumpeknya tempat duduk di kereta ekonomi kami
Sepuluh jam perjalanan Jakarta-Jogja pada saat itu terasa bagai 10 jam terlama yang pernah saya lalui dalam hidup saya. Dengan kondisi gerbong yang tidak manusiawi dan frekuensi singgah di stasiun-stasiun berjarak dekat yang terlalu sering, kereta ini sukses membuat kepala saya pusing dan perut saya mual bercampur kembung. Saya sama sekali tidak bisa tidur, padahal sebenarnya saya sudah sangat lelah dan mengantuk. Pada saat di kereta itulah saya merasakan makna yang begitu mendalam dari penggalan lirik Fix You milik Coldplay; when you feel so tired but you can’t sleep. Hanya saja bedanya, lights won’t guide me home, and nobody will try to fix me, because I’ve made my choice to go to Jogja, no matter what.

Kereta ekonomi yang kami naiki ini bernama kereta Progo. Untuk rute Jakarta-Jogja memang hanya kereta ini yang melayani kelas ekonomi. Dan stasiun keberangkatannya pun hanya di stasiun Senen untuk di Jakarta, dan stasiun Lempuyangan untuk di Jogja. Beda halnya dengan kereta  kelas eksekutif yang berangkat dari stasiun Gambir untuk Jakarta dan stasiun Tugu untuk Jogja dengan harga sekitar Rp 350.000 per tiket dan menurut saya sedikit kurang worth it bila dibandingkan dengan harga tiket pesawat yang berbeda sedikit dan tentu saja lebih efisien dalam hal waktu. Kembali lagi soal kereta ekonomi yang kami naiki ini, manajemen yang dilakukan oleh PT.KAI memang tidak seburuk yang saya gambarkan sebelumnya, dengan sistem penomoran tempat duduk yang tertib sebenarnya kereta ini sudah cukup baik menurut saya. Hanya saja fasilitas di dalamnya memang sangat tidak layak, dengan bau toilet yang sangat menyengat, gerbong tanpa pendingin udara yang membuat suasana mendadak panas seketika saat berhenti di satu stasiun, sungguh sangat jauh tertinggal di belakang jika dibandingkan dengan kereta-kereta di Negara lain yang bahkan sudah menggunakan teknologi super cepat dengan kecepatan rata-rata mencapai 300km/jam. Tapi untungnya, menurut informasi yang saya dapat kereta ekonomi seperti ini akan segera ditiadakan dan diganti dengan kelas ekonomi AC. Walaupun tidak terlalu signifikan paling tidak ada sebuah bentuk langkah awal untuk kemajuan transportasi Indonesia.

Pemandangan pagi dari balik jendela yang mendamaikan hati
Kembali pada topik perjalanan ke Jogja, singkat cerita akhirnya saya dapat melalui 10 jam nestapa di dalam kereta derita itu dengan selamat (tetap hiperbola). Kenestapaan yang saya rasakan semalaman sebenarnya agak sedikit terobati oleh suasana pagi yang mampu membuat saya menghela nafas panjang dan menyunggingkan senyum puas. Hamparan sawah luas siap panen dan udara sejuk yang membawa aroma jerami kering bakar, ditambah suara para pedagang klanting dan asongan berlogat jawa yang menjajakan dagangannya dengan melodi-melodi unik, sungguh sangat khas dan mendamaikan hati saya. Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 07.00 dan telah disambut oleh salah satu teman kami yang tinggal di Jogja, Tigor, bersama pacarnya, Naomi. Tigor sangat kaget melihat saya datang, karena Bang Anju tidak menginformasikan sebelumnya bahwa saya turut ikut ke Jogja. Setelah berkaget-kaget ria, kami pun langsung meluncur ke kost Tigor dengan menggunakan 2 motor yang dibawa oleh Tigor dan Naomi tadi. Sesampainya di kost Tigor kami pun berbenah, kemudian saya langsung beristirahat sebentar untuk membalas dendam tidur saya yang tidak tersampaikan selama berada di kereta ekonomi nestapa.

to be continued...

Sunday, March 10, 2013

The Billionaire : Sebuah Suntikan Semangat Berbisnis

Suatu hari libur saya stuck di depan komputer melakukan hal yang bagi sebagian orang sangat tidak produktif : menonton film drama. Beberapa film cengeng sukses membuat saya nangis bombay tanpa kesan yang begitu berarti setelah film tamat. Hingga pada akhirnya saya menemukan film The Billionaire ini. 
Cover Internasional The Billionaire

The Billionaire atau yang juga dikenal sebagai Top Secret: Wai Roon Pan Lan, adalah sebuah film biografi asal Thailand yang disutradarai oleh Songyos Sugmakanan dan dirilis pada 20 Oktober 2011 di Thailand. Film ini diangkat dari kisah nyata mengenai perjalanan seorang (baht) bilioner termuda asal Thailand (Itthipat Kulapongvanich/Top Itthipat) yang mencapai kesuksesannya pada usia 19 tahun. Tokoh Itthipat sendiri diperankan oleh seorang actor muda Thailand, Pachara Chirativat, yang sebelumnya juga telah sukses membintangi film Suckseed dengan karakter konyolnya.


Dikisahkan bahwa Itthipat pada usia 16 tahun adalah seorang remaja penggila game online yang memiliki lebih dari tiga computer di kamarnya untuk bermain game online. Tanpa sengaja kegemarannya bermain game online dapat menuntun Itthipat menemukan minat bisnisnya dengan berjualan senjata dari game online tersebut. Namun ternyata nasib baik tidak selalu di genggamannya, pada usia 18 tahun keluarga Itthipat mengalami kebangkrutan yang memaksa mereka untuk melarikan diri dari Thailand. Tak mau menyerah pada nasib, itthipat dengan dibantu oleh paman paruh bayanya memutuskan untuk tinggal di Thailand dan memulai bisnis untuk dapat membayar hutang orangtuanya. Berbagai macam bisnis telah dicoba dan gagal, namun Itthipat tetap optimis untuk mencari kesempatan bisnis meskipun untuk itu ia harus drop out dari kampus, ditinggalkan kekasihnya, hingga kehilangan semua hartanya yang tersisa.

Salah satu scene saat Itthipat bermain game online
Dengan penggambaran yang sangat berliku-liku film ini mampu membuat saya merasa “putus asa” terhadap usaha-usaha Itthipat yang terasa selalu gagal. Namun ketika pada akhirnya semua usaha yang berliku-liku tersebut dapat membuahkan hasil saya seakan mendapat stimulus semangat baru : butuh pengorbanan dan keberanian yang sangat besar untuk dapat meraih sukses. Film ini dapat menjadi suntikan inspirasi bagi para pengusaha yang sedang memulai, akan memulai, atau baru memulai bisnisnya.

Itthipat setelah sukses
Produk Itthipat : Tao Kae Noi
Di dunia nyata, Itthipat adalah pemilik Taokaenoi Food & Marketing, sebuah usaha cemilan rumput laut kering merek Taokaenoi yang sudah menjamur di seluruh jaringan 7/11. Tao Kao Noi sendiri merupakan bahasa Thailand yang berarti Pengusaha Muda. Saat ini Itthipat berusia 29 tahun (lahir pada tahun 1984) dan produknya telah berkembang hingga ke negara-negara Asia Pasifik hingga Amerika Serikat. Ia bahkan telah memiliki lahan rumput lautnya sendiri di Korea Selatan. Sebuah kalimat ispirasional dari Itthipat di akhir film yang sangat menginspirasi saya : Do not give up whatever happens, if we give up then we are finished for sure.”


Bagi saya pribadi film ini sangat berkesan karena membuat saya semakin berambisi untuk menjadi pengusaha. Trailler Film The Billionaire dapat dilihat di sini

Wednesday, February 27, 2013

Entrok = Bra



Entrok adalah sebuah novel fiksi sejarah karya Okky Madasari, belatarkan tempat di daerah Jawa pada era 1950-1994. Entrok sendiri merupakan bahasa daerah lokal yang berarti pakaian dalam wanita (bra). Arti entrok sudah dapat saya duga ketika melihat sampul novel yang bergambarkan punggung wanita yang sedang membuka pakaian dalamnya ini. Dengan design sampul horizontal yang cukup menarik dan berbeda dari buku-buku pada umumnya, novel ini berhasil menarik saya untuk membelinya tanpa berfikir panjang.



Novel ini bercerita tentang hubungan Ibu dan anak perempuannya selama dua generasi dengan tokoh utama dari generasi kedua yaitu sang Ibu (Marni) dan anak perempuannya (Rahayu). Cerita berawal sejak Marni masih muda bersama ibunya. Dikisahkan Marni muda adalah seorang gadis dari keluarga miskin yang sangat mendambakan sebuah entrok yang pada saat itu harganya masih sangat mahal. Dengan berbagai upaya Marni berusaha keras untuk dapat membeli sebuah entrok.



Tumbuh dewasa dan menikah, akhirnya Marni memiliki seorang anak perempuan bernama Rahayu yang menjadi putri kesayangan sekaligus “musuh” yang selalu memeranginya. Marni adalah penganut kepercayaan leluhur sedangkan Rahayu adalah pemeluk agama yang taat dan sangat membenci kepercayaan Marni yang dianggap “musyrik”. Tokoh Marni digambarkan sedemikian rupa hingga membuat saya memandang sesuatu yang dianggap “dosa” sebagai sebuah hal yang seharusnya dihargai. Dengan penjabaran situasi dan keadaan yang cukup mendetail, novel ini memberikan saya gambaran yang berbeda mengenai kehidupan masyarakat Indonesia di masa lalu.

Secara pribadi saya melihat novel ini sebagai sebuah bentuk protes dan sindiran atas rendahnya rasa toleransi antar golongan di Indonesia. Sang penulis saya nilai cukup berani untuk mengungkapkan perilaku-perilaku intoleran yang identik dilakukan oleh kelompok tertentu melalui karakter tokoh-tokohnya. Dijabarkan dengan bahasa yang cukup ringan, novel ini cocok dibaca saat sedang santai dan tidak ingin berfikir.

Dengan alur maju mundur, novel ini sukses membuat saya bertanya-tanya dan merasa puas ketika mendapatkan jawaban-jawabannya saat mendekati akhir cerita. Hanya saja, penggunaan beberapa istilah bahasa daerah yang kurang saya mengerti membuat saya harus berkali-kali membuka halaman-halaman sebelumnya untuk kembali melihat artinya. Selain itu alur sangat cepat di awal cerita dan cenderung sangat lambat saat mendekati akhir cerita sempat membuat saya bosan. Namun secara keseluruhan novel ini cukup berkesan dan memberikan saya pelajaran mengenai toleransi antar sesama.