Tuesday, March 26, 2013

An Escape to Yogyakarta (Part 2-End)


Continued from An Escape to Yogyakarta


Day One

Hari pertama di Jogja bisa dikatakan adalah hari paling produktif dibandingkan dengan hari-hari berikutnya bila ditinjau dari aspek intensitas jalan-jalan. Setelah beristirahat sejenak kami langsung menuju ke kampus ISI untuk sarapan sekaligus makan siang, kemudian kami mengobrol bersama teman-teman dari ISI hingga akhirnya tercetus ide untuk menghabiskan malam bersama-sama. Saat itu kami berjumlah 8 orang, yang terdiri dari Saya, Bang Anju, Tigor, Naomi, Yohana, Angga, Mika, dan Adi. Karena cuaca Jogja malam itu sedang gerimis, kami pun akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah mobil Kijang Innova selama 12 jam dengan harga Rp100.000 tanpa supir dan bensin. Cukup murah jika dibandingkan harga sewa mobil di kota lain.

Suasana malam Jogja yang sepi
Sekitar pukul 21.00 kami berangkat tanpa arah dan tujuan yang jelas, sampai akhirnya Yohana mengusulkan untuk pergi ke sebuah Café bernama Lucifer. Kesan maksiat langsung terlintas di kepala saya saat pertamakali mendengar nama ini. Namun setelah Yohana menjelaskan mengenai tempat ini akhirnya kami pun tertarik dan langsung berangkat ke Lucifer.

Cafe Lucifer dengan cahaya merah temaram
Sesampainya di Lucifer tiba-tiba kami menjadi ragu untuk masuk karena melihat wanita-wanita berpakaian minim berdiri di depan pintu, ditambah suasana remang-remang merah, mebuat tempat ini terlihat mistik bagi saya. Setelah saling tarik-menarik dan dorong-mendorong akhirnya kami pun masuk ke Lucifer. Kami mengambil tempat duduk di lantai 2 dengan pandangan langsung ke arah panggung. Hiburan di tempat ini berupa live band dengan seorang penyanyi pria dan seorang penyanyi wanita yang melantunkan lagu-lagu pop dan rock modern juga lawas. Kami semua menikmati lagu-lagu yang dilantunkan sampai tiba-tiba seorang waiter mengantarkan 1 pitcher bir dingin seharga Rp 105.000 yang entah dipesan oleh siapa. Bir di Lucifer ini rasanya agak aneh, seperti dicampur dengan air.

Setelah menyanyikan beberapa lagu tiba-tiba kedua penyanyi Lucifer tersebut berhenti dan menyapa para tamu, kelompok kami pun tak lupa mereka sapa. Dan entah ilmu apa yang mereka miliki sehingga mengetahui bahwa kami adalah orang luar Jogja yang sedang liburan. Mereka pun meminta salah satu dari kami untuk maju ke panggung untuk bernyanyi bersama mereka. Entah mengapa saya menjadi tumbal yang disodorkan oleh teman-teman. Saya pun ke panggung dan menyanyikan lagu Adele berjudul Someone Like You yang mungkin terdengar sumbang. Sekitar pukul 23.00 para penyanyi berhenti bernyanyi dan hiburan di Lucifer pun diganti dengan musik elektro yang diputar dari laptop. Tak lama kemudian kami pun meninggalkan Lucifer.

Setelah meninggalkan Lucifer kami langsung menuju suatu tempat di dataran tinggi Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan “bukit bintang”. Kami menikmati malam dingin dengan jagung bakar dan minuman hangat sambil memandangi kemilau lampu kota Yogyakarta dari ketinggian. Beberapa jam kami lewatkan di bukit bintang ini, hingga akhirnya pemilik warung jagung bakar yang kami singgahi itu mengusir kami dengan halus, kami pun kembali ke kota Yogyakarta.

Masih terasa terlalu senja kami pun enggan untuk kembali beristirahat. Berbekal minuman dingin, makanan ringan, dan satu set kartu remi dari sebuah convenience store kami pun duduk-duduk di pinggir jalan depan gedung Vredeburg sambil bermain kartu. Waktu terasa cepat berlalu sampai tiba-tiba kami sadar waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Ide liar pun menyeruak. Kami akan mengejar sunrise di pantai daerah Wonosari. Saat itu kondisi teman-teman yang lain terlihat kurang meyakinkan untuk menyetir. Mika, yang sejak awal perjalanan menyetir, tiba-tiba sinusnya kambuh. Jadi berhubung kami sudah sangat antusias untuk mengejar sunrise dan saya sudah banyak mencuri banyak kesempatan tidur di perjalanan, akhirnya sayalah yang menyetir hingga ke pantai Wonosari dengan bermodal nekat karena buta jalan.

Pantai yang kami tuju semula adalah pantai Baron. Pantai Baron adalah salah satu pantai yang berada di daerah Wonosari. Wonosari merupakan salah satu kabupaten di provinsi Yogyakarta dengan posisi daratan yang cukup tinggi. Unik memang, biasanya pantai berada di dataran rendah tapi pantai-pantai di daeran Wonosari ini terletak di dataran tinggi. Perjalanan dari kota Yogyakarta menuju pantai Baron memakan waktu sekitar 2 jam. Jalur yang kami lalui bisa dikatakan cukup ektrim dengan tikungan-tikungan tidak terduga dan pencahayaan jalan yang kurang memadai. Ditambah lagi kabut tebal di sepanjang jalan Wonosari yang menyisakan jarak pandang hanya sejauh 7 meter dan sangat menyulitkan saya untuk menyetir.

Pagi berkabut di Wonosari
Namun semua perjuangan melewati jalan-jalan berliku itu terbayarkan saat kami mendekati daerah pantai wonosari. Pagi yang berkabut dengan udara yang begitu sejuk mebuat saya begitu terpesona. Beberapa kali saya menjulurkan tangan saya ke udara melalui jendela dan mendapatinya sedikit basah ketika menariknya kembali. Saya benar-benar terkagum oleh ciptaan Tuhan yang tidak biasa saya lihat ini. Beberapa kali kami singgah untuk bertanya arah pada penduduk sekitar hingga akhirnya kami sampai di persimpangan jalan, kanan menuju pantai baron dan kiri menuju pantai kukup. Saat itu juga secara tiba-tiba kami beralih haluan menuju arah pantai kukup, padahal rencana awal ingin ke pantai Baron.

Tiada sama sekali penyesalan sesampainya kami di Pantai Kukup, yang ada hanyalah sukacita dan rasa takjub luar biasa akan indahnya paradise yang terhampar di hadapan mata saya. Sungguh, dengan mengesampingkan sifat hiperbola natural saya, pantai ini adalah pantai terindah yang pernah saya lihat seumur hidup saya. Hamparan pasir putih tebal yang menenggelamkan mata kaki saya ketika melintasinya, disambut dengan karang sejauh 70 meter penuh biota laut kecil yang sekaligus menjadi benteng penghadang menuju bibir laut, benar-benar menunjukkan keangkuhan laut yang seolah enggan dijamah makhluk luar.













Sunrise pertama di Pantai Kukup


Gubuk untuk menikmati pemandangan luas Pantai Kukup
Jalan menuju Gubuk di atas bukit
Pemandangan dari atas bukit
Saya sedikit unjuk diri
Bang Anju menunjukkan jati dirinya sebagai fotografer

Hamparan karang sekaligus benteng pertahanan di bibir laut
Pantai Kukup ini memang pantai yang “boleh dipandang, dipegang jangan”. Kita hanya dapat memandang keindahannya tanpa dapat bersatu dengannya, karena disamping posisi laut dan pantai yang dipisahkan oleh hamparan karang sejauh 70 meter, amukan ombak di pantai ini juga bisa dibilang ganas. Namun meskipun demikian pantai ini tetap saja mampu memusaskan unsure indrawi saya dengan pesona kecantikannya yang begitu alami. Sekitar 1 jam saya lalui dengan memisahkan diri dari rombongan. Saya benar-benar ingin menikmati keindahan itu dengan kelima indera saya sendiri tanpa terinterupsi oleh obrolan-obrolan pemecah konsentrasi. Adakalanya memang, kesendirian mampu menciptakan atmosfer ajaib yang mampu menciptakan ketenangan hati.
Setelah puas menikmati keindahan Pantai Kukup kami pun kembali ke Yogyakarta dan beristirahat untuk menebus dosa tidak tidur semalaman.
Matahari yang sudah mulai meninggi

Day Two

Setelah cukup beristirahat sepulang dari perjalanan melelahkan sekaligus menyenangkan ke Pantai Kukup saya pun menghubungi salah satu sepupu saya, Yohannes Redhoi Sigiro (Bang Redhoi), yang kebetulan bertugas di daerah Sleman, Yogyakarta. Sekitar pukul 18.30 Bang Redhoi menjemput saya dan kami pun pergi ke pusat kota Jogja. Kami pergi ke Malioboro untuk membeli liontin salib pesanan Opung (Nenek) kami. Kami menyusuri Malioboro dari ujung pangkal sampai ke ujung tempat Mirota Batik. Di sepanjang malioboro kami membeli sebuah miniatur sepeda onthel dan 3 buah kacamata hitam. Sepeda onthel ini kami dapatkan dengan harga Rp50.000 dari penawaran awal seharga Rp125.000, sedangkan 3 buah kacamata kami dapatkan dengan harga Rp10.000 per buah dari penawaran awal seharga Rp25.000.


Bang Redhoi dengan kacamata boboho barunya
Miniatur sepeda onthel yang menjadi favorite saya

Musisi jalanan mengalunkan melodi keroncong Manuk Dadali
Malioboro ini memang tidak ada matinya. Sejak 5 tahun lalu sampai sekarang saya tetap jatuh cinta dengan lokasi ini. Di sepanjang jalan malioboro kita bisa mendengar dan melihat berbagai pertunjukan yang dilakukan oleh para musisi-jalanan. Kami sempat berhenti sejenak untuk menikmati salah satu pertunjukan musik keroncong yang dilakukan di jalur lambat Malioboro. Kemudian setelah sampai blok Mirota Batik kami sempat mampir sejenak untuk melihat-lihat. Di dalam Mirota Batik ini saya juga sempat terpesona melihat seorang pria dengan set pakaian khas Yogyakarta mengalunkan melodi-melodi klasik dari sebuah grand piano.

Pianis memainkan melodi klasik di Mirota Batik
Puas melihat-lihat dan menelusuri Malioboro, kami pun kembali ke titik awal Malioboro tempat kami memarkir kendaraan dengan menggunakan becak. Becak di Jogja ini juga unik, agak sedikit nungging ke belakang. Becak yang kami tumpangi ini menetapkan tarif sebesar Rp15.000 dari mirota batik hingga ke pangkal Malioboro. Saya sangat menikmati malam di malioboro itu, alunan musik-musik tradisional dari para musisi jalanan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang terasa dari atas becak benar-benar membuat malam itu begitu berkesan bagi saya.

Sedikit cuplikan alunan keroncong Manuk Dadali yang sempat saya rekam :

Selepas dari Malioboro, saya mengajak Bang Redhoi untuk singgah di Kalimilk Senturan untuk menemui teman-teman lama saya. Kalimilk adalah sebuah tempat makan dengan menu utama minuman dari susu sapi. Ada bermacam-macam susu sapi tersedia di Kalimilk, mulai dari yang asli sampai yang telah diolah dengan berbagai macam rasa. Kalimilk ini memiliki 2 lokasi di Yogyakarta, yang satu adalah yang kami kunjingi ini, terletak di Senturan, sedangkan yang satu lagi terletak di Kaliurang. Beberapa jam kami lewatkan di Kalimilk Senturan ini, sampai akhirnya kami pulang dan mampir untuk makan di sebuah tempat makan pinggir jalan. Di tempat makan ini saya memesan Ayam Rica-Rica dan Bang Redhoi memesan Mie Godhok. Ayam Rica-Rica Jogja ini rasanya berbeda dengan Ayam Rica-Rica di tempat lain, sangat manis dan tidak cocok dengan selera lidah saya.

Day Three

Hari ketiga kami di Jogja saya habiskan bersama bang Anju. Kami berkelana dengan mengendarai motor, dan seperti biasa, tanpa tujuan yang jelas. Siang di Jogja hari itu sangat panas. Kami singgah sebentar untuk membeli tiket pulang di sebuah agen travel, dan kali ini saya pastikan, tiket yang dibeli bukanlah tiket kereta kelas ekonomi seharga Rp45.000. Untuk pulang kami memesan tiket kereta kelas Ekonomi AC dengan harga Rp140.000, berangkat pada hari Jumat, 22 Maret 2013 pukul 16.50 dari stasiun Lempuyangan, dan sampai pada hari Sabtu, 23 Maret 2013 pukul 02.30 di stasiun Senen.

Salah satu gedung berasitektur oriental di Taman Sari
Setelah membeli tiket akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Taman Sari, istana air di daerah kota, dekat dengan Keraton Yogyakarta. Taman Sari ini adalah sebuah situs sejarah yang dulunya dipakai oleh Raja (Sultan) untuk mandi dan menenangkan pikiran. Untuk masuk ke Taman Sari pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp3.000 per orang. Di Taman Sari ini kami dipandu oleh seorang tour guide yang membawa kami berkeliling Taman Sari hingga menjangkau sudut-sudut yang biasanya tidak terjangkau oleh turis biasa yang datang tanpa pemandu. Dari tour guide ini kami mendapatkan berbagai informasi mengenai Taman Sari, baik dari sisi sejarah dan fungsi bangunan, hingga keadaan penduduk yang tinggal di sekitar tempat itu. Bahkan tour guide kami tersebut tak sungkan untuk membawa kami keliling pemukiman sekitar dan mengenalkan kami pada pengrajin batik modern di sekitar lokasi tersebut. Untuk perjalanan keliling area Taman Sari dan segudang informasi menarik seputar Yogyakarta tersebut kami memberikan tips pada tour guide kami sebesar Rp30.000.

Pengrajin pakaian lukis dengan tinta batik di kawasan Taman Sari
Taman Sari bagian depan
Dinding pemukiman sekitar Taman Sari
dengan lukisan tokoh wayang

Puas berkeliling Taman Sari kami pun singgah ke sebuah warung kopi di depan Pasar Ngasem. Awalnya kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke candi Prambanan di daerah Sleman, namun karena tidak kuat dengan terik matahari yang begitu menyengat siang itu akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali dan beristirahat. Menjelang malam kami bersama Tigor mengunjungi sebuah tempat nongkrong bernama Warung Njero Kampung yang terletak di belakang kampus ISI Jogja. Di warung ini para senior Tigor di kampus ISI melakukan jamming session dengan tema musik Pop Jazz. Melodi-melodi yang dilantunkan oleh para mahasiswa tersebut sangat indah dan profesional, padahal mereka melakukannya dengan spontan dan dipilih langsung secara acak oleh MC. Sungguh para mahasiswa berbakat, semoga nantinya mereka dapat menyumbangkan karya-karya original yang mampu mendongkrak kualitas musik Indonesia.

Malam ketiga yang sekaligus malam terakhir kami di Jogja ini akhirnya saya tutup bersama Tigor dan Bang Anju dengan makan di sebuah tempat makan lesehan pinggir jalan yang terletak di depan sebuah pusat elektronik Jogja, Progo. Tempat ini terkenal dengan nama Nasi Goreng Papilon dan menyediakan makanan olahan dengan campuran daging babi. Saya tidak begitu ingat menu apa saja yang tersedia, karena saya hanya memesan makanan favorit yang paling terkenal dan bahkan menjadi nama sebutan bagi tempat ini, nasi goring papilon. Rasanya luar biasa enak menurut saya. Nasi goreng dengan campuran daging babi dipotong dadu dan telur dadar yang digoreng tidak terlalu matang, sungguh memanjakan perut saya yang sudah semakin menggelambir. Nasi goreng papilon ini tersedia dalam porsi biasa dan porsi jumbo. Saya memesan porsi biasa sedangkan Bang Anju dan Tigor memesan porsi jumbo. Harga makanan super lezat ini ternyata tidak terlalu mahal, kami hanya mengeluarkan uang sekitar Rp56.000 untuk mememenuhi lambung 3 orang dengan kenikmatan.

Day Four

Hari terakhir di Jogja. Tidak terasa hari ini tiba, padahal saya masih sangat belum puas menggali tempat-tempat menarik di kota yang selalu membuat saya jatuh cinta ini. Hari terakhir ini kembali saya habiskan dengan sepupu saya, Bang Redhoi. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah The House of Raminten. Kami sarapan sekaligus makan siang di sini. The House of Raminten merupakan salah satu tempat unik yang wajib dikunjungi ketika di Jogja, sebuah restoran dengan suasana tradisional yang dimiliki oleh Hamzah, seorang transgender yang juga memiliki Mirota Batik dan Mirota Bakery. Tempat ini menyediakan berbagai macam makanan dengan wadah yang masing-masingnya sangat unik. Ada gelas sebesar gayung mandi, ada gelas seperti vas bunga ramping setinggi 50cm, ada pula mangkok makanan berbentuk seperti perahu. Untuk masalah rasa, sebenarnya aneka makanan di The House of Raminten ini tidak terlalu juara menurut saya, hanya saja suasana restoran yang cozy dan homy serta berbagai keunikan perabot maupun interior yang dimiliki oleh Raminten memang merupakan daya jual tersendiri yang menjadi magnet bagi para pemburu makanan di Jogja.
Gelas minuman super jumbo di The House of Raminten

Setelah selesai makan dan berbincang santai di Raminten, kami pun langsung menuju ke rumah Bang Redhoi yang terletak di daerah Sleman. Sebelum sampai ke rumahnya kami mampir sebentar ke sebuah pusat oleh-oleh untuk membeli bakpia. Kemudian sesampainya di rumah Bang Redhoi kami asik berbincang-bincang hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 yang berarti kami harus segera meluncur ke Stasiun Lempuyangan yang lokasinya lumayan jauh dari Sleman untuk mengejar kereta saya yang dijadwalkan berangkat pukul 16.50. Kami sampai di stasiun pada pukul 16.30, saat itu saya langsung mencoba menghubungi Bang Anju namun dia tidak menjawab. Beberapa menit saya coba hubungi dan akhirnya berhasil, saya sangat panik ketika mengetahui bahwa Bang Anju masih berada di Malioboro saat itu. Kereta berangkat 10 menit lagi dan dia masih asik berjalan-jalan di Malioboro.

Pukul 16.45 Bang Anju pun tiba di Stasiun dengan diantar oleh Tigor dan Naomi. Tanpa banyak babibu kami pun langsung mengeluarkan kartu identitas masing-masing dan masuk ke gerbong kereta kami. Hanya sekitar 5 menit duduk, kereta kami pun langsung berjalan. Saat itulah saya mendapat kabar dari Bang Redhoi bahwa ada penumpang lain yang baru datang setelah kami masuk, namun dia tidak diizinkan masuk karena sudah terlambat dari jadwal, padahal sebenarnya kereta kami masih parkir dengan anggun di rel-nya. Betapa beruntungnya saya dan Bang Anju yang datang sangat tepat pada waktunya, tidak terbayang bila ternyata kami tidak boleh masuk hanya karena terlambat 1 menit dari jadwal.

Sedikit keisengan saya dengan Bang Anju di kereta saat perjalanan pulang
Seperti halnya perjalanan jarak jauh pada umumnya, perjalanan pulang memang selalu lebih cepat dari pada saat berangkat. Mungkin pada kaus ini memang karena kami menggunakan kereta yang lebih nyaman saat pulang, sehingga perjalanan pun tidak terlalu terasa melelahkan. Sepanjang perjalanan pulang, saya dan Bang Anju lebih banyak tidur, mungkin kami sudah terlalu kelelahan karena kurang tidur selama 4 hari terakhir di Jogja. Perjalanan 10 jam pulang ini tidak terasa berlalu hingga tiba-tiba waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dan kami sudah kembali sampai di stasiun keberangkatan kami dari Jakarta 5 hari yang lalu.

Badan pegal-pegal yang saya rasakan saat sampai di Jakarta mampu memberikan stimulus bagi otot bibir saya untuk menyunggingkan senyuman. Senyuman puas akan semua susah payah dan kesenangan yang saya alami selama pelarian ke Jogja. Sebuah anomal memang, dimana sekujur tubuh saya terasa sangat pegal dan mata saya terasa sangat lelah namun hati saya terasa begitu senang. Jogja adalah sebuah kota yang telah merebut hati saya. Jogja dengan tampilan alam dan masyarakatnya yang unik serta hangat benar-benar menghipnotis saya hingga merasakan ketenangan dan kenyamanan yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Jogja dengan kehidupan sosial serta budayanya yang otentik menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi saya untuk terus kembali ke kota ini. Jogja dengan setiap inchi-nya telah membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi. Jogja adalah tempat dimana suatu saat saya akan menghabiskan masa tua saya dengan orang yang saya cintai. Semoga saja…

An Escape to Yogyakarta - End

No comments:

Post a Comment