Beberapa waktu terakhir ini kepala saya terasa seperti bom atom yang sewaktu-waktu siap untuk meledak.Sebenarnya tidak seburuk itu, tapi kurang lebih isi kepala saya benar-benar terasa ruwet dan memusingkan. Sejak bulan September lalu saya mulai menyusun skripsi saya mengenai Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang cukup menyita banyak sel dalam otak saya, kemudian Januari lalu saya juga mengambil program magang di sebuah creative agency yang di situ saya ditempatkan di divisi Public Relations. Beruntungnya saya, meskipun sebagai anak magang ternyata perusahaan mempercayakan saya untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sedikit, sehingga magang pun, seperti skripsi, ikut menyita banyak sel dalam otak saya. Sampai akhirnya pada tanggal 16 Maret 2013 lalu kontrak magang saya selesai, dan perusahaan ternyata meminta saya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai salah satu pegawai tetap. Namun atas pertimbangan skripsi saya yang sudah mulai terbengkalai dan sisa waktu pengerjaan yang sudah tinggal sedikit, akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak melanjutkan bekerja di perusahaan ini, meskipun jauh di lubuk hati terdalam saya sudah merasa cukup nyaman dengan atmosfer perusahaan ini.
Sebagai seseorang yang agak sedikit
hiperbola, saya menganggap skripsi itu sebagai hantu kejam yang terus menerus
meneror dan mengintimidasi saya setiap saat sehingga saya merasa seperti
ketakutan untuk hanya sekedar menilik folder skripsi dalam komputer saya.
Sebenarnya keadaan skripi saya tidak seburuk itu. Sejauh ini saya sudah
menyelesaikan sampai BAB 3 dan hanya tinggal melanjutkan penelitian, BAB 4 dan
seterusnya. Namun karena hiperbolanya saya (termasuk dalam hal kemalasan),
skripsi tersebut pun tak kunjung terjamah meskipun sebenarnya saya tidak
sesibuk itu sampai harus meninggalkan pekerjaan demi untuk mengerjakan skripsi
saya (hihihi). Sifat hiperbola ini juga yang akhirnya menuntun saya untuk
membuat sebuah program refreshing dan
penenangan pikiran sebelum melanjutkan skripsi, dan Yogyakarta adalah kota yang
saya pilih untuk melaksanakan program ini, mengingat saya memang sudah lama sekali
ingin kembali ke kota ini sejak 5 tahun lalu saya menginjakkan kaki saya untuk
pertamakalinya di kota pelajar ini saat study tour SMA.
Peta Yogyakarta (source : website bpkp) |
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba,
saya meluncur ke stasiun Senen dengan membawa sebuah ransel dan tas jinjing
berisi makanan ringan untuk bekal di kereta. Pukul 20.15 saya tiba di stasiun
dan langsung bertemu Bang Anju yang sudah menunggu di stasiun sejak pukul
19.00. kami mengobrol sebentar dengan salah satu penumpang kereta yang juga
hendak berangkat ke Jogja menggunakan kereta yang sama dengan kami. Beberapa
menit mengobrol, kami pun check in
dan masuk ke dalam kereta. Dan pada saat memasuki gerbong kereta saya mendapati
bahwa Bang Anju telah mengelabuhi saya, karena ternyata tiket kereta yang ia
pesan adalah tiket kelas ekonomi dengan harga Rp 45.000 per tiket dari Jakarta
hingga ke Jogja, tiket kelas ekonomi yang benar-benar ekonomis, tiket kelas
ekonomi dengan kondisi gerbong yang sumpek, panas, dan sangat bau. Ini adalah
kali pertama saya ke luar kota menggunakan kereta, dan kalipertama ini pula saya
gunakan kereta ekonomi seperti ini. Saya sungguh sangat kaget saat itu, tidak
terbayangkan di benak saya harus berada di kereta itu dalam waktu 10 jam lebih.
Sungguh, perasaan saya pada saat itu sangat tidak karuan, saya hanya bengong
sambil berjalan mengikuti Bang Anju yang cengengesan
mencari tempat duduk kami, dan dalam hati saya berfikir “What the fuck am I doing here?”.
Bukannya saya bersikap arogan atau
sombong, tapi biar saya analogikan dan anda coba simpulkan sendiri. Dengan uang
Rp 45.000 di Jakarta mungkin kita hanya bisa mendapatkan satu kali makan siang
di sebuah restoran junk food, tapi di
sini, Rp45.000 itu bisa mengantarkan saya dari Jakarta hingga ke Jogja dengan
waktu tempuh lebih dari 10 jam dan jarak lebih dari 500km. Bisakah terbayangkan
seberapa besar peminimalisiran kondisi kereta demi untuk menutupi operasional
dengan sumbangsih ongkos dari setiap penumpang yang hanya sebesar Rp45.000 dari
Jakarta hingga ke Jogja?
Beginilah sumpeknya tempat duduk di kereta ekonomi kami |
Kereta ekonomi yang kami naiki ini
bernama kereta Progo. Untuk rute Jakarta-Jogja memang hanya kereta ini yang
melayani kelas ekonomi. Dan stasiun keberangkatannya pun hanya di stasiun Senen
untuk di Jakarta, dan stasiun Lempuyangan untuk di Jogja. Beda halnya dengan
kereta kelas eksekutif yang berangkat
dari stasiun Gambir untuk Jakarta dan stasiun Tugu untuk Jogja dengan harga
sekitar Rp 350.000 per tiket dan menurut saya sedikit kurang worth it bila dibandingkan dengan harga
tiket pesawat yang berbeda sedikit dan tentu saja lebih efisien dalam hal
waktu. Kembali lagi soal kereta ekonomi yang kami naiki ini, manajemen yang dilakukan
oleh PT.KAI memang tidak seburuk yang saya gambarkan sebelumnya, dengan sistem penomoran
tempat duduk yang tertib sebenarnya kereta ini sudah cukup baik menurut saya. Hanya
saja fasilitas di dalamnya memang sangat tidak layak, dengan bau toilet yang
sangat menyengat, gerbong tanpa pendingin udara yang membuat suasana mendadak
panas seketika saat berhenti di satu stasiun, sungguh sangat jauh tertinggal di
belakang jika dibandingkan dengan kereta-kereta di Negara lain yang bahkan
sudah menggunakan teknologi super cepat dengan kecepatan rata-rata mencapai 300km/jam.
Tapi untungnya, menurut informasi yang saya dapat kereta ekonomi seperti ini
akan segera ditiadakan dan diganti dengan kelas ekonomi AC. Walaupun tidak
terlalu signifikan paling tidak ada sebuah bentuk langkah awal untuk kemajuan
transportasi Indonesia.
Pemandangan pagi dari balik jendela yang mendamaikan hati |
Kembali pada topik perjalanan ke
Jogja, singkat cerita akhirnya saya dapat melalui 10 jam nestapa di dalam
kereta derita itu dengan selamat (tetap hiperbola). Kenestapaan yang saya
rasakan semalaman sebenarnya agak sedikit terobati oleh suasana pagi yang mampu
membuat saya menghela nafas panjang dan menyunggingkan senyum puas. Hamparan
sawah luas siap panen dan udara sejuk yang membawa aroma jerami kering bakar,
ditambah suara para pedagang klanting dan asongan berlogat jawa yang menjajakan
dagangannya dengan melodi-melodi unik, sungguh sangat khas dan mendamaikan hati
saya. Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 07.00 dan telah disambut
oleh salah satu teman kami yang tinggal di Jogja, Tigor, bersama pacarnya,
Naomi. Tigor sangat kaget melihat saya datang, karena Bang Anju tidak
menginformasikan sebelumnya bahwa saya turut ikut ke Jogja. Setelah berkaget-kaget
ria, kami pun langsung meluncur ke kost Tigor dengan menggunakan 2 motor yang
dibawa oleh Tigor dan Naomi tadi. Sesampainya di kost Tigor kami pun berbenah,
kemudian saya langsung beristirahat sebentar untuk membalas dendam tidur saya
yang tidak tersampaikan selama berada di kereta ekonomi nestapa.
to be continued...
No comments:
Post a Comment