Monday, March 25, 2013

An Escape to Yogyakarta

Beberapa waktu terakhir ini kepala saya terasa seperti bom atom yang sewaktu-waktu siap untuk meledak.
Sebenarnya tidak seburuk itu, tapi kurang lebih isi kepala saya benar-benar terasa ruwet dan memusingkan. Sejak bulan September lalu saya mulai menyusun skripsi saya mengenai Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang cukup menyita banyak sel dalam otak saya, kemudian Januari lalu saya juga mengambil program magang di sebuah creative agency yang di situ saya ditempatkan di divisi Public Relations. Beruntungnya saya, meskipun sebagai anak magang ternyata perusahaan mempercayakan saya untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sedikit, sehingga magang pun, seperti skripsi, ikut menyita banyak sel dalam otak saya. Sampai akhirnya pada tanggal 16 Maret 2013 lalu kontrak magang saya selesai, dan perusahaan ternyata meminta saya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai salah satu pegawai tetap.  Namun atas pertimbangan skripsi saya yang sudah mulai terbengkalai dan sisa waktu pengerjaan yang sudah tinggal sedikit, akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak melanjutkan bekerja di perusahaan ini, meskipun jauh di lubuk hati terdalam saya sudah merasa cukup nyaman dengan atmosfer perusahaan ini.

Sebagai seseorang yang agak sedikit hiperbola, saya menganggap skripsi itu sebagai hantu kejam yang terus menerus meneror dan mengintimidasi saya setiap saat sehingga saya merasa seperti ketakutan untuk hanya sekedar menilik folder skripsi dalam komputer saya. Sebenarnya keadaan skripi saya tidak seburuk itu. Sejauh ini saya sudah menyelesaikan sampai BAB 3 dan hanya tinggal melanjutkan penelitian, BAB 4 dan seterusnya. Namun karena hiperbolanya saya (termasuk dalam hal kemalasan), skripsi tersebut pun tak kunjung terjamah meskipun sebenarnya saya tidak sesibuk itu sampai harus meninggalkan pekerjaan demi untuk mengerjakan skripsi saya (hihihi). Sifat hiperbola ini juga yang akhirnya menuntun saya untuk membuat sebuah program refreshing dan penenangan pikiran sebelum melanjutkan skripsi, dan Yogyakarta adalah kota yang saya pilih untuk melaksanakan program ini, mengingat saya memang sudah lama sekali ingin kembali ke kota ini sejak 5 tahun lalu saya menginjakkan kaki saya untuk pertamakalinya di kota pelajar ini saat study tour SMA.

Peta Yogyakarta (source : website bpkp)
Rencana ke Yogyakarta ini (selanjutnya saya akan menyebutnya Jogja) sebenarnya saya lakukan dengan mendadak dan tanpa perencanaan matang, berbekal obrolan ngalor ngidul dengan salah satu teman gereja saya, Anju, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja bersama dia tanpa persiapan tiket, penginapan, dan itinerary yang jelas. Tiket berangkat kami dibeli oleh Bang Anju pada h-3 keberangkatan di stasiun Senen dengan rute Senen-Lempuyangan. Saya pasrah akan keadaan kereta kami nanti, yang saya tahu hanya, kami berangkat pada hari Senin, 18 Maret 2013, pukul 20.30, dari stasiun Senen menggunakan kereta AC Ekonomi.

Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, saya meluncur ke stasiun Senen dengan membawa sebuah ransel dan tas jinjing berisi makanan ringan untuk bekal di kereta. Pukul 20.15 saya tiba di stasiun dan langsung bertemu Bang Anju yang sudah menunggu di stasiun sejak pukul 19.00. kami mengobrol sebentar dengan salah satu penumpang kereta yang juga hendak berangkat ke Jogja menggunakan kereta yang sama dengan kami. Beberapa menit mengobrol, kami pun check in dan masuk ke dalam kereta. Dan pada saat memasuki gerbong kereta saya mendapati bahwa Bang Anju telah mengelabuhi saya, karena ternyata tiket kereta yang ia pesan adalah tiket kelas ekonomi dengan harga Rp 45.000 per tiket dari Jakarta hingga ke Jogja, tiket kelas ekonomi yang benar-benar ekonomis, tiket kelas ekonomi dengan kondisi gerbong yang sumpek, panas, dan sangat bau. Ini adalah kali pertama saya ke luar kota menggunakan kereta, dan kalipertama ini pula saya gunakan kereta ekonomi seperti ini. Saya sungguh sangat kaget saat itu, tidak terbayangkan di benak saya harus berada di kereta itu dalam waktu 10 jam lebih. Sungguh, perasaan saya pada saat itu sangat tidak karuan, saya hanya bengong sambil berjalan mengikuti Bang Anju yang cengengesan mencari tempat duduk kami, dan dalam hati saya berfikir “What the fuck am I doing here?”.

Bukannya saya bersikap arogan atau sombong, tapi biar saya analogikan dan anda coba simpulkan sendiri. Dengan uang Rp 45.000 di Jakarta mungkin kita hanya bisa mendapatkan satu kali makan siang di sebuah restoran junk food, tapi di sini, Rp45.000 itu bisa mengantarkan saya dari Jakarta hingga ke Jogja dengan waktu tempuh lebih dari 10 jam dan jarak lebih dari 500km. Bisakah terbayangkan seberapa besar peminimalisiran kondisi kereta demi untuk menutupi operasional dengan sumbangsih ongkos dari setiap penumpang yang hanya sebesar Rp45.000 dari Jakarta hingga ke Jogja?

Beginilah sumpeknya tempat duduk di kereta ekonomi kami
Sepuluh jam perjalanan Jakarta-Jogja pada saat itu terasa bagai 10 jam terlama yang pernah saya lalui dalam hidup saya. Dengan kondisi gerbong yang tidak manusiawi dan frekuensi singgah di stasiun-stasiun berjarak dekat yang terlalu sering, kereta ini sukses membuat kepala saya pusing dan perut saya mual bercampur kembung. Saya sama sekali tidak bisa tidur, padahal sebenarnya saya sudah sangat lelah dan mengantuk. Pada saat di kereta itulah saya merasakan makna yang begitu mendalam dari penggalan lirik Fix You milik Coldplay; when you feel so tired but you can’t sleep. Hanya saja bedanya, lights won’t guide me home, and nobody will try to fix me, because I’ve made my choice to go to Jogja, no matter what.

Kereta ekonomi yang kami naiki ini bernama kereta Progo. Untuk rute Jakarta-Jogja memang hanya kereta ini yang melayani kelas ekonomi. Dan stasiun keberangkatannya pun hanya di stasiun Senen untuk di Jakarta, dan stasiun Lempuyangan untuk di Jogja. Beda halnya dengan kereta  kelas eksekutif yang berangkat dari stasiun Gambir untuk Jakarta dan stasiun Tugu untuk Jogja dengan harga sekitar Rp 350.000 per tiket dan menurut saya sedikit kurang worth it bila dibandingkan dengan harga tiket pesawat yang berbeda sedikit dan tentu saja lebih efisien dalam hal waktu. Kembali lagi soal kereta ekonomi yang kami naiki ini, manajemen yang dilakukan oleh PT.KAI memang tidak seburuk yang saya gambarkan sebelumnya, dengan sistem penomoran tempat duduk yang tertib sebenarnya kereta ini sudah cukup baik menurut saya. Hanya saja fasilitas di dalamnya memang sangat tidak layak, dengan bau toilet yang sangat menyengat, gerbong tanpa pendingin udara yang membuat suasana mendadak panas seketika saat berhenti di satu stasiun, sungguh sangat jauh tertinggal di belakang jika dibandingkan dengan kereta-kereta di Negara lain yang bahkan sudah menggunakan teknologi super cepat dengan kecepatan rata-rata mencapai 300km/jam. Tapi untungnya, menurut informasi yang saya dapat kereta ekonomi seperti ini akan segera ditiadakan dan diganti dengan kelas ekonomi AC. Walaupun tidak terlalu signifikan paling tidak ada sebuah bentuk langkah awal untuk kemajuan transportasi Indonesia.

Pemandangan pagi dari balik jendela yang mendamaikan hati
Kembali pada topik perjalanan ke Jogja, singkat cerita akhirnya saya dapat melalui 10 jam nestapa di dalam kereta derita itu dengan selamat (tetap hiperbola). Kenestapaan yang saya rasakan semalaman sebenarnya agak sedikit terobati oleh suasana pagi yang mampu membuat saya menghela nafas panjang dan menyunggingkan senyum puas. Hamparan sawah luas siap panen dan udara sejuk yang membawa aroma jerami kering bakar, ditambah suara para pedagang klanting dan asongan berlogat jawa yang menjajakan dagangannya dengan melodi-melodi unik, sungguh sangat khas dan mendamaikan hati saya. Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 07.00 dan telah disambut oleh salah satu teman kami yang tinggal di Jogja, Tigor, bersama pacarnya, Naomi. Tigor sangat kaget melihat saya datang, karena Bang Anju tidak menginformasikan sebelumnya bahwa saya turut ikut ke Jogja. Setelah berkaget-kaget ria, kami pun langsung meluncur ke kost Tigor dengan menggunakan 2 motor yang dibawa oleh Tigor dan Naomi tadi. Sesampainya di kost Tigor kami pun berbenah, kemudian saya langsung beristirahat sebentar untuk membalas dendam tidur saya yang tidak tersampaikan selama berada di kereta ekonomi nestapa.

to be continued...

No comments:

Post a Comment