Monday, January 14, 2013

Amukan "Tempat Sampah" Raksasa

Unintentionally found this writing that I wrote about 2 years ago. Very simple.

Seorang pria bersama anak laki-lakinya sedang menggotong sebuah kasur kapuk basah dan meletakknya di kursi luar rumahnya untuk dijemur. Banjir telah melanda daerah rumah mereka semalaman ketika mereka sekeluarga sedang pergi. Mereka memang tidak kaget lagi dengan kejadian seperti ini, pasalnya daerah pinggir kali dengan posisi daratan yang lebih rendah seperti daerah mereka ini memang sudah menjadi langganan banjir setiap kali hujan turun.
Pria ini bernama Pak Kardi, dan anak laki-lakinya tersebut bernama Ali. Sehari-harinya Pak Kardi bekerja sebagai tukang ojek untuk menghidupi istri dan anak laki-laki semata wayangnya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Biasanya Kardi mulai datang ke pangkalan ojek sejak pukul 6 pagi, namun khusus hari ini Kardi sengaja berangkat agak siang karena hendak membantu istrinya untuk membereskan rumah yang semalaman terendam banjir. Setelah selesai membereskan rumahnya, Kardi mengemasi sampah sisa banjir dan membuangnya ke kali belakang rumahnya.
Ya gimana ya, saya juga bingung mau buang ke mana. Kalau langganan buang sampah bulanan saya mana sanggup bayar”. Begitu jawaban Kardi ketika ditanya mengenai alasannya membuang sampah di kali. Untuk ukuran kaum masyarakat pra sejahtera Jakarta yang minim pendidikan seperti Kardi ini, banjir memang dianggap sebagai sebuah bencana yang semata-mata terjadi karena proses amukan alam secara natural. Mereka kurang menyadari bahwa bajir yang terjadi di Jakarta selama ini adalah hasil dari ulah manusia sendiri yang kurang peduli terhadap lingkungan. Kali, yang sebenarnya adalah tempat untuk menampung air hujan supaya tidak meluap ke daratan, dijadikan tempat pembuangan segala macam kotoran, baik kotoran yang berupa sampah rumah tangga, maupun kotoran hasil metabolisme tubuh manusia.
Jakarta, yang saat ini telah dipenuhi berbagai gedung pencakar langit, memang memiliki daerah resapan air yang sangat minim. Hal ini pun diperparah dengan keadaan kali Jakarta yang dipenuhi oleh sampah. Tak ayal ketika hujan turun, air yang seharusnya masuk ke dalam tanah menggenang di daratan, sedangkan air yang seharusnya tertampung di dalam kali pun meluap karena ketidakberdayaannya untuk menampung air hujan dan sampah sekaligus. Pada akhirnya banjir pun terjadi.
Berbagai macam usaha sosialisasi penanaman pohon yang yang dilakukan pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat untuk menambah daerah resapan Jakarta tampak kurang membuahkan hasil. Bagaimana tidak, masyarakat Jakarta yang sebagian besar sibuk dan tidak memiliki cukup lahan untuk menanam pohon tentu akan merasa malas untuk melakukan hal itu, apalagi ajakan untuk menanam pohon hanyalah sebuah himbauan tanpa realisasi tindakan persuasif. Jangankan mengharapkan masyarakat dengan sukarela menanam pohon, mengharap untuk tidak membuang sampah sembarangan pun rasanya sudah sangat sulit. Ketika banjir sudah datang, tinggallah masyarakat yang pada akhirnya menyalahkan alam karena menitikkan air hujan terlalu banyak.

No comments:

Post a Comment