Seperti deja vu yang jalan ceritanya sudah dapat ditebak.
Berulang-ulang, bertahun-tahun, pemicu kehadirannya tetap selalu sama; pejantan.
Saking seringnya terulang dengan presisi yang nyaris mutlak, aku sampai khatam polanya.
Kelak kelok ekstrim hingga penyimpangan sekecil 1 derajat pun aku hafal.
Kadang ada taman bunga, pemandangan indah, dan jurang terjal, tapi pada ujungnya selalu nyemplung di sumur bau taik.
Letih, bosan, malas dengan keteraturan pola ini, akupun diam, tak mau lagi coba pijak garis start-nya.
CNS'
A place where I can free my mind, speak my thoughts, and share anything I'd like to share.
Monday, December 16, 2013
Deja Vu
Saturday, October 12, 2013
Let's keep it all clean!
A Picture from The Jakarta Globe on Facebook shows about polluted and dirty condition of Bali, the island of Gods, Indonesia.
In some cases like this, people are usually saying that it is caused by the government's disability in managing the wastes, or it is caused by the lack of environmental awareness within our society, so the sanitary condition in Indonesia is not in a good level.
Indeed, those are the major factors that cause these sanitary issues, but I think it is a kind of useless to keep pointing out to others while we are doing nothing.
I have started some little changes on myself regarding to these issues, like refusing plastic bags when I buy only a few small items or when I buy something that I'm going to use immediately, throwing organic and unorganic wastes at their places, or keeping my candy wrap in my pocket when I can't find any public trash can, and that is why sometimes I can find candy wraps and their friends in my pocket when I want to do my laundry. ^^v
Those steps might sound useless or insignificant, but what i keep in my mind is, if hundreds or thousands people do the same things or even better, sure it will give a big impact to our environment.
So, let's keep it all clean!
Cute Babies, I want mine!
A few weeks ago I had a little chit chat with two friends of mine who I had not caught up for months.
The first one was my childhood friend, three years older than me, she was the one whom I spent my childhood adventure with, from climbing trees to climbing our roof. She currently lives in Yogyakarta with his husband. The second one was my partner when I was interning in a Public Relations agency, she diforced with her first husband, has 2 cute daughters, and a few months ago she was married to a guy from our office.
So from my chit chat with those two friends of mine, I heard that they are now pregnant and wating for their new babies. I am very happy for them, and that news, unexpectedly, led me to craving for a baby. Sounds freak, huh? Yeah, I think so. But let me explain.
My litttle brother |
Recently i always spend my free time in front of computer while browsing some hot issues and videos on youtube. By chance, i found a video of baby Charlotte who said "no, no, no" on youtube, then I clicked more related videos, stuck for hours in those kind of videos, and became addicted in watching those cute little babies, until now. Basically i really like babies, especially the boys who have just learned to say their first words, and fortunaltely I also have a 3 years old litlle brother in Lampung and have not been seeing him for 2 months. Missing my little brother and loving to see cute babies, maybe those are the reason why I react a bit too much everytime I see or hear something related to babies.
Cute babies, i want mine too!
I realize that it is very sick, how come a soon be 21 years old girl, without boyfriend moreover husband, craving for her own baby? Well, maybe I am. This baby fever makes me really think about mine. By mine I mean my turn to have one. When or how would it be? Would I be a good wife and mother? Would it feel as amazing as when i watched those baby videos on youtube or when I heard those stories about babies?
Well we'll see..
Anyway this is the baby charolette video that led me to another cute little baby videos.
Here are some pictures of my little brother when he was 1 or 2 years old.
Monday, September 9, 2013
Telur, bukan Burung!
Sebuah Analogi
Kau pernah begitu mendambakan telur, dulu.
Rasanya seperti mimpi saat tiba-tiba sepasang telur menclok di jendela kita.
Kau pun lompat kegirangan, kau elus-elus sepasang telur itu.
Kau titipkan satu telur yang lebih kecil dan berwarna coklat muda untuk kujaga, memang kau lebih suka yang berukuran besar dan berwarna terang.
Suatu hari telur besarmu yang berwarna terang itu retak, keluarlah seekor burung mungil dan ringkih berbulu kelam.
Kau menangis tersedu-sedu, karena kau mendambakan telur, bukan burung.
Beberapa hari kemudian burung kecil ringkih berbulu kelam itu menjadi semakin besar dan kuat, kaupun mulai tersenyum.
Nanti dia bisa memberikan kita telur-telur baru, katamu.
Tapi tak lama kemudian burung itu terbang ke langit ketujuh, tak kembali.
Kau pun meratap sesenggukan, kali ini sedihnya 2 kali lipat daripada saat kau kehilangan telurmu yang menetas.
Aku pun bingung, kulihat kota hitamku. Masih ada satu lagi kok, telur kecil berwarna coklat muda yang kau titipkan padaku waktu itu.
Tapi nanti telur yang ini pun juga akan menetas menjadi seekor burung ringkih, sedihmu akan menjadi 4 kali lipat, dan burung ringkih itu pun nanti akan menjadi kuat dan terbang ke langit ketujuh, sedihmu akan menjadi 8 kali lipat.
Jadi kupikir lebih baik kupecahkan saja telurmu yang kecil dan berwarna coklat muda ini, supaya sedihmu hanya akan menjadi 4 kali lipat.
Tanpa tedeng aling-aling kuraih telur kecil coklat muda itu, dan kucampakkan ke sudut daun jendela kita.
Plok! Pecah.
Dan kali ini malah kau yang terbang meninggalkanku.
Jakarta, 8 September 2013
Saat sedang dongkrong di atas jamban.
Friday, July 26, 2013
Celah-Celah Terbaik
Sebuah catatan kecil saat menunggu lampu merah.
Seperti air, mereka bergerak luwes mengisi setiap celah-celah kosong. Kecepatannya nyaris menandingi sel jantan yang melesat memburu sel betinanya. Katanya sih memang harus cepat, karena ini merupakan kompetisi sengit untuk memperebutkan celah-celah terbaik.
Seperti air, mereka bergerak luwes mengisi setiap celah-celah kosong. Kecepatannya nyaris menandingi sel jantan yang melesat memburu sel betinanya. Katanya sih memang harus cepat, karena ini merupakan kompetisi sengit untuk memperebutkan celah-celah terbaik.
Namun seperti semacam kontradiksi, masing-masing dari mereka juga memiliki kode naluriah alami yang seolah-olah telah melalui serangkaian musyawarah akbar hingga akhirnya diamini dan dimandatkan;
"Bergeser serapat mungkin agar dapat menciptakan celah-celah baru bagi mereka yang terancam tergusur karena gagal merengkuh celahnya."
Manis sekaligus kejam, para penunggang kuda-kuda besi, penakluk jalan-jalan ibukota.
Image from Google |
Tuesday, March 26, 2013
An Escape to Yogyakarta (Part 2-End)
Continued from An Escape to Yogyakarta
Day One
Hari pertama di Jogja bisa dikatakan
adalah hari paling produktif dibandingkan dengan hari-hari berikutnya bila
ditinjau dari aspek intensitas jalan-jalan. Setelah beristirahat sejenak kami langsung
menuju ke kampus ISI untuk sarapan sekaligus makan siang, kemudian kami
mengobrol bersama teman-teman dari ISI hingga akhirnya tercetus ide untuk
menghabiskan malam bersama-sama. Saat itu kami berjumlah 8 orang, yang terdiri
dari Saya, Bang Anju, Tigor, Naomi, Yohana, Angga, Mika, dan Adi. Karena cuaca
Jogja malam itu sedang gerimis, kami pun akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah
mobil Kijang Innova selama 12 jam dengan harga Rp100.000 tanpa supir dan
bensin. Cukup murah jika dibandingkan harga sewa mobil di kota lain.
Suasana malam Jogja yang sepi |
Cafe Lucifer dengan cahaya merah temaram |
Setelah menyanyikan beberapa lagu
tiba-tiba kedua penyanyi Lucifer tersebut berhenti dan menyapa para tamu,
kelompok kami pun tak lupa mereka sapa. Dan entah ilmu apa yang mereka miliki
sehingga mengetahui bahwa kami adalah orang luar Jogja yang sedang liburan. Mereka
pun meminta salah satu dari kami untuk maju ke panggung untuk bernyanyi bersama
mereka. Entah mengapa saya menjadi tumbal yang disodorkan oleh teman-teman. Saya
pun ke panggung dan menyanyikan lagu Adele berjudul Someone Like You yang
mungkin terdengar sumbang. Sekitar pukul 23.00 para penyanyi berhenti bernyanyi
dan hiburan di Lucifer pun diganti dengan musik elektro yang diputar dari
laptop. Tak lama kemudian kami pun meninggalkan Lucifer.
Setelah meninggalkan Lucifer kami
langsung menuju suatu tempat di dataran tinggi Yogyakarta yang terkenal dengan
sebutan “bukit bintang”. Kami menikmati malam dingin dengan jagung bakar dan
minuman hangat sambil memandangi kemilau lampu kota Yogyakarta dari ketinggian.
Beberapa jam kami lewatkan di bukit bintang ini, hingga akhirnya pemilik warung
jagung bakar yang kami singgahi itu mengusir kami dengan halus, kami pun
kembali ke kota Yogyakarta.
Masih terasa terlalu senja kami pun
enggan untuk kembali beristirahat. Berbekal minuman dingin, makanan ringan, dan
satu set kartu remi dari sebuah convenience
store kami pun duduk-duduk di pinggir jalan depan gedung Vredeburg sambil
bermain kartu. Waktu terasa cepat berlalu sampai tiba-tiba kami sadar waktu
sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi. Ide liar pun menyeruak. Kami akan mengejar sunrise di pantai daerah Wonosari. Saat itu
kondisi teman-teman yang lain terlihat kurang meyakinkan untuk menyetir. Mika,
yang sejak awal perjalanan menyetir, tiba-tiba sinusnya kambuh. Jadi berhubung
kami sudah sangat antusias untuk mengejar sunrise dan saya sudah banyak mencuri
banyak kesempatan tidur di perjalanan, akhirnya sayalah yang menyetir hingga ke
pantai Wonosari dengan bermodal nekat karena buta jalan.
Pantai yang kami tuju semula adalah
pantai Baron. Pantai Baron adalah salah satu pantai yang berada di daerah
Wonosari. Wonosari merupakan salah satu kabupaten di provinsi Yogyakarta dengan
posisi daratan yang cukup tinggi. Unik memang, biasanya pantai berada di
dataran rendah tapi pantai-pantai di daeran Wonosari ini terletak di dataran
tinggi. Perjalanan dari kota Yogyakarta menuju pantai Baron memakan waktu
sekitar 2 jam. Jalur yang kami lalui bisa dikatakan cukup ektrim dengan
tikungan-tikungan tidak terduga dan pencahayaan jalan yang kurang memadai. Ditambah
lagi kabut tebal di sepanjang jalan Wonosari yang menyisakan jarak pandang hanya
sejauh 7 meter dan sangat menyulitkan saya untuk menyetir.
Namun semua perjuangan melewati
jalan-jalan berliku itu terbayarkan saat kami mendekati daerah pantai wonosari.
Pagi yang berkabut dengan udara yang begitu sejuk mebuat saya begitu terpesona.
Beberapa kali saya menjulurkan tangan saya ke udara melalui jendela dan
mendapatinya sedikit basah ketika menariknya kembali. Saya benar-benar terkagum
oleh ciptaan Tuhan yang tidak biasa saya lihat ini. Beberapa kali kami singgah
untuk bertanya arah pada penduduk sekitar hingga akhirnya kami sampai di
persimpangan jalan, kanan menuju pantai baron dan kiri menuju pantai kukup. Saat
itu juga secara tiba-tiba kami beralih haluan menuju arah pantai kukup, padahal
rencana awal ingin ke pantai Baron.
Tiada sama sekali penyesalan
sesampainya kami di Pantai Kukup, yang ada hanyalah sukacita dan rasa takjub
luar biasa akan indahnya paradise
yang terhampar di hadapan mata saya. Sungguh, dengan mengesampingkan sifat
hiperbola natural saya, pantai ini adalah pantai terindah yang pernah saya
lihat seumur hidup saya. Hamparan pasir putih tebal yang menenggelamkan mata
kaki saya ketika melintasinya, disambut dengan karang sejauh 70 meter penuh
biota laut kecil yang sekaligus menjadi benteng penghadang menuju bibir laut,
benar-benar menunjukkan keangkuhan laut yang seolah enggan dijamah makhluk luar.
Sunrise pertama di Pantai Kukup |
Gubuk untuk menikmati pemandangan luas Pantai Kukup |
Jalan menuju Gubuk di atas bukit |
Pemandangan dari atas bukit |
Saya sedikit unjuk diri |
Hamparan karang sekaligus benteng pertahanan di bibir laut |
Setelah puas menikmati keindahan
Pantai Kukup kami pun kembali ke Yogyakarta dan beristirahat untuk menebus dosa
tidak tidur semalaman.
Day Two
Setelah cukup beristirahat sepulang
dari perjalanan melelahkan sekaligus menyenangkan ke Pantai Kukup saya pun
menghubungi salah satu sepupu saya, Yohannes Redhoi Sigiro (Bang Redhoi), yang
kebetulan bertugas di daerah Sleman, Yogyakarta. Sekitar pukul 18.30 Bang
Redhoi menjemput saya dan kami pun pergi ke pusat kota Jogja. Kami pergi ke
Malioboro untuk membeli liontin salib pesanan Opung (Nenek) kami. Kami menyusuri
Malioboro dari ujung pangkal sampai ke ujung tempat Mirota Batik. Di sepanjang
malioboro kami membeli sebuah miniatur sepeda
onthel dan 3 buah kacamata hitam. Sepeda onthel ini kami dapatkan dengan
harga Rp50.000 dari penawaran awal seharga Rp125.000, sedangkan 3 buah kacamata
kami dapatkan dengan harga Rp10.000 per buah dari penawaran awal seharga
Rp25.000.
Bang Redhoi dengan kacamata boboho barunya |
Miniatur sepeda onthel yang menjadi favorite saya |
Musisi jalanan mengalunkan melodi keroncong Manuk Dadali |
Malioboro ini memang tidak ada
matinya. Sejak 5 tahun lalu sampai sekarang saya tetap jatuh cinta dengan
lokasi ini. Di sepanjang jalan malioboro kita bisa mendengar dan melihat
berbagai pertunjukan yang dilakukan oleh para musisi-jalanan. Kami sempat
berhenti sejenak untuk menikmati salah satu pertunjukan musik keroncong yang
dilakukan di jalur lambat Malioboro. Kemudian setelah sampai blok Mirota Batik
kami sempat mampir sejenak untuk melihat-lihat. Di dalam Mirota Batik ini saya
juga sempat terpesona melihat seorang pria dengan set pakaian khas Yogyakarta
mengalunkan melodi-melodi klasik dari sebuah grand piano.
Pianis memainkan melodi klasik di Mirota Batik |
Puas melihat-lihat dan menelusuri
Malioboro, kami pun kembali ke titik awal Malioboro tempat kami memarkir
kendaraan dengan menggunakan becak. Becak di Jogja ini juga unik, agak sedikit nungging ke belakang. Becak yang kami
tumpangi ini menetapkan tarif sebesar Rp15.000 dari mirota batik hingga ke
pangkal Malioboro. Saya sangat menikmati malam di malioboro itu, alunan musik-musik
tradisional dari para musisi jalanan dan hembusan angin sepoi-sepoi yang terasa
dari atas becak benar-benar membuat malam itu begitu berkesan bagi saya.
Sedikit cuplikan alunan keroncong Manuk Dadali yang sempat saya rekam :
Selepas dari Malioboro, saya mengajak
Bang Redhoi untuk singgah di Kalimilk Senturan untuk menemui teman-teman lama
saya. Kalimilk adalah sebuah tempat makan dengan menu utama minuman dari susu
sapi. Ada bermacam-macam susu sapi tersedia di Kalimilk, mulai dari yang asli
sampai yang telah diolah dengan berbagai macam rasa. Kalimilk ini memiliki 2
lokasi di Yogyakarta, yang satu adalah yang kami kunjingi ini, terletak di
Senturan, sedangkan yang satu lagi terletak di Kaliurang. Beberapa jam kami
lewatkan di Kalimilk Senturan ini, sampai akhirnya kami pulang dan mampir untuk
makan di sebuah tempat makan pinggir jalan. Di tempat makan ini saya memesan
Ayam Rica-Rica dan Bang Redhoi memesan Mie Godhok. Ayam Rica-Rica Jogja ini rasanya
berbeda dengan Ayam Rica-Rica di tempat lain, sangat manis dan tidak cocok
dengan selera lidah saya.
Day Three
Hari ketiga kami di Jogja saya
habiskan bersama bang Anju. Kami berkelana dengan mengendarai motor, dan
seperti biasa, tanpa tujuan yang jelas. Siang di Jogja hari itu sangat panas. Kami
singgah sebentar untuk membeli tiket pulang di sebuah agen travel, dan kali ini
saya pastikan, tiket yang dibeli bukanlah tiket kereta kelas ekonomi seharga
Rp45.000. Untuk pulang kami memesan tiket kereta kelas Ekonomi AC dengan harga
Rp140.000, berangkat pada hari Jumat, 22 Maret 2013 pukul 16.50 dari stasiun
Lempuyangan, dan sampai pada hari Sabtu, 23 Maret 2013 pukul 02.30 di stasiun
Senen.
Salah satu gedung berasitektur oriental di Taman Sari |
Setelah membeli tiket akhirnya kami
memutuskan untuk mengunjungi Taman Sari, istana air di daerah kota, dekat dengan
Keraton Yogyakarta. Taman Sari ini adalah sebuah situs sejarah yang dulunya
dipakai oleh Raja (Sultan) untuk mandi dan menenangkan pikiran. Untuk masuk ke
Taman Sari pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp3.000 per orang. Di Taman Sari
ini kami dipandu oleh seorang tour guide yang
membawa kami berkeliling Taman Sari hingga menjangkau sudut-sudut yang biasanya
tidak terjangkau oleh turis biasa yang datang tanpa pemandu. Dari tour guide ini kami mendapatkan berbagai
informasi mengenai Taman Sari, baik dari sisi sejarah dan fungsi bangunan,
hingga keadaan penduduk yang tinggal di sekitar tempat itu. Bahkan tour guide kami tersebut tak sungkan
untuk membawa kami keliling pemukiman sekitar dan mengenalkan kami pada pengrajin
batik modern di sekitar lokasi tersebut. Untuk perjalanan keliling area Taman
Sari dan segudang informasi menarik seputar Yogyakarta tersebut kami memberikan tips
pada tour guide kami sebesar Rp30.000.
Pengrajin pakaian lukis dengan tinta batik di kawasan Taman Sari |
Taman Sari bagian depan |
Dinding pemukiman sekitar Taman Sari dengan lukisan tokoh wayang |
Puas berkeliling Taman Sari kami pun singgah ke sebuah warung kopi di depan Pasar Ngasem. Awalnya kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke candi Prambanan di daerah Sleman, namun karena tidak kuat dengan terik matahari yang begitu menyengat siang itu akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali dan beristirahat. Menjelang malam kami bersama Tigor mengunjungi sebuah tempat nongkrong bernama Warung Njero Kampung yang terletak di belakang kampus ISI Jogja. Di warung ini para senior Tigor di kampus ISI melakukan jamming session dengan tema musik Pop Jazz. Melodi-melodi yang dilantunkan oleh para mahasiswa tersebut sangat indah dan profesional, padahal mereka melakukannya dengan spontan dan dipilih langsung secara acak oleh MC. Sungguh para mahasiswa berbakat, semoga nantinya mereka dapat menyumbangkan karya-karya original yang mampu mendongkrak kualitas musik Indonesia.
Malam ketiga yang sekaligus malam terakhir
kami di Jogja ini akhirnya saya tutup bersama Tigor dan Bang Anju dengan makan
di sebuah tempat makan lesehan pinggir jalan yang terletak di depan sebuah pusat
elektronik Jogja, Progo. Tempat ini terkenal dengan nama Nasi Goreng Papilon
dan menyediakan makanan olahan dengan campuran daging babi. Saya tidak begitu
ingat menu apa saja yang tersedia, karena saya hanya memesan makanan favorit
yang paling terkenal dan bahkan menjadi nama sebutan bagi tempat ini, nasi goring
papilon. Rasanya luar biasa enak menurut saya. Nasi goreng dengan campuran
daging babi dipotong dadu dan telur dadar yang digoreng tidak terlalu matang,
sungguh memanjakan perut saya yang sudah semakin menggelambir. Nasi goreng papilon
ini tersedia dalam porsi biasa dan porsi jumbo. Saya memesan porsi biasa
sedangkan Bang Anju dan Tigor memesan porsi jumbo. Harga makanan super lezat
ini ternyata tidak terlalu mahal, kami hanya mengeluarkan uang sekitar Rp56.000
untuk mememenuhi lambung 3 orang dengan kenikmatan.
Day Four
Hari terakhir di Jogja. Tidak terasa
hari ini tiba, padahal saya masih sangat belum puas menggali tempat-tempat
menarik di kota yang selalu membuat saya jatuh cinta ini. Hari terakhir ini
kembali saya habiskan dengan sepupu saya, Bang Redhoi. Tempat pertama yang kami
kunjungi adalah The House of Raminten. Kami sarapan sekaligus makan siang di
sini. The House of Raminten merupakan salah satu tempat unik yang wajib
dikunjungi ketika di Jogja, sebuah restoran dengan suasana tradisional yang
dimiliki oleh Hamzah, seorang transgender yang juga memiliki Mirota Batik dan
Mirota Bakery. Tempat ini menyediakan berbagai macam makanan dengan wadah yang
masing-masingnya sangat unik. Ada gelas sebesar gayung mandi, ada gelas seperti
vas bunga ramping setinggi 50cm, ada pula mangkok makanan berbentuk seperti perahu.
Untuk masalah rasa, sebenarnya aneka makanan di The House of Raminten ini tidak
terlalu juara menurut saya, hanya saja suasana restoran yang cozy dan homy serta berbagai keunikan perabot maupun interior yang dimiliki
oleh Raminten memang merupakan daya jual tersendiri yang menjadi magnet bagi
para pemburu makanan di Jogja.
Setelah selesai makan dan berbincang
santai di Raminten, kami pun langsung menuju ke rumah Bang Redhoi yang terletak
di daerah Sleman. Sebelum sampai ke rumahnya kami mampir sebentar ke sebuah
pusat oleh-oleh untuk membeli bakpia. Kemudian sesampainya di rumah Bang Redhoi
kami asik berbincang-bincang hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul
16.00 yang berarti kami harus segera meluncur ke Stasiun Lempuyangan yang
lokasinya lumayan jauh dari Sleman untuk mengejar kereta saya yang dijadwalkan
berangkat pukul 16.50. Kami sampai di stasiun pada pukul 16.30, saat itu saya langsung
mencoba menghubungi Bang Anju namun dia tidak menjawab. Beberapa menit saya
coba hubungi dan akhirnya berhasil, saya sangat panik ketika mengetahui bahwa
Bang Anju masih berada di Malioboro saat itu. Kereta berangkat 10 menit lagi
dan dia masih asik berjalan-jalan di Malioboro.
Pukul 16.45 Bang Anju pun tiba di
Stasiun dengan diantar oleh Tigor dan Naomi. Tanpa banyak babibu kami pun langsung mengeluarkan kartu identitas masing-masing
dan masuk ke gerbong kereta kami. Hanya sekitar 5 menit duduk, kereta kami pun
langsung berjalan. Saat itulah saya mendapat kabar dari Bang Redhoi bahwa ada
penumpang lain yang baru datang setelah kami masuk, namun dia tidak diizinkan
masuk karena sudah terlambat dari jadwal, padahal sebenarnya kereta kami masih parkir
dengan anggun di rel-nya. Betapa beruntungnya saya dan Bang Anju yang datang
sangat tepat pada waktunya, tidak terbayang bila ternyata kami tidak boleh
masuk hanya karena terlambat 1 menit dari jadwal.
Sedikit keisengan saya dengan Bang Anju di kereta saat perjalanan pulang |
Seperti halnya perjalanan jarak jauh
pada umumnya, perjalanan pulang memang selalu lebih cepat dari pada saat
berangkat. Mungkin pada kaus ini memang karena kami menggunakan kereta yang
lebih nyaman saat pulang, sehingga perjalanan pun tidak terlalu terasa
melelahkan. Sepanjang perjalanan pulang, saya dan Bang Anju lebih banyak tidur,
mungkin kami sudah terlalu kelelahan karena kurang tidur selama 4 hari terakhir
di Jogja. Perjalanan 10 jam pulang ini tidak terasa berlalu hingga tiba-tiba
waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dan kami sudah kembali sampai di stasiun
keberangkatan kami dari Jakarta 5 hari yang lalu.
Badan pegal-pegal yang saya rasakan
saat sampai di Jakarta mampu memberikan stimulus bagi otot bibir saya untuk
menyunggingkan senyuman. Senyuman puas akan semua susah payah dan kesenangan
yang saya alami selama pelarian ke Jogja. Sebuah anomal memang, dimana sekujur
tubuh saya terasa sangat pegal dan mata saya terasa sangat lelah namun hati
saya terasa begitu senang. Jogja adalah sebuah kota yang telah merebut hati
saya. Jogja dengan tampilan alam dan masyarakatnya yang unik serta hangat
benar-benar menghipnotis saya hingga merasakan ketenangan dan kenyamanan yang
tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Jogja dengan kehidupan sosial serta
budayanya yang otentik menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi saya untuk terus kembali
ke kota ini. Jogja dengan setiap inchi-nya telah membuat saya jatuh cinta lagi
dan lagi. Jogja adalah tempat dimana suatu saat saya akan menghabiskan masa tua
saya dengan orang yang saya cintai. Semoga saja…
An Escape to Yogyakarta - End
Monday, March 25, 2013
An Escape to Yogyakarta
Beberapa waktu terakhir ini kepala saya terasa seperti bom atom yang sewaktu-waktu siap untuk meledak.Sebenarnya tidak seburuk itu, tapi kurang lebih isi kepala saya benar-benar terasa ruwet dan memusingkan. Sejak bulan September lalu saya mulai menyusun skripsi saya mengenai Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang cukup menyita banyak sel dalam otak saya, kemudian Januari lalu saya juga mengambil program magang di sebuah creative agency yang di situ saya ditempatkan di divisi Public Relations. Beruntungnya saya, meskipun sebagai anak magang ternyata perusahaan mempercayakan saya untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sedikit, sehingga magang pun, seperti skripsi, ikut menyita banyak sel dalam otak saya. Sampai akhirnya pada tanggal 16 Maret 2013 lalu kontrak magang saya selesai, dan perusahaan ternyata meminta saya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai salah satu pegawai tetap. Namun atas pertimbangan skripsi saya yang sudah mulai terbengkalai dan sisa waktu pengerjaan yang sudah tinggal sedikit, akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk tidak melanjutkan bekerja di perusahaan ini, meskipun jauh di lubuk hati terdalam saya sudah merasa cukup nyaman dengan atmosfer perusahaan ini.
Sebagai seseorang yang agak sedikit
hiperbola, saya menganggap skripsi itu sebagai hantu kejam yang terus menerus
meneror dan mengintimidasi saya setiap saat sehingga saya merasa seperti
ketakutan untuk hanya sekedar menilik folder skripsi dalam komputer saya.
Sebenarnya keadaan skripi saya tidak seburuk itu. Sejauh ini saya sudah
menyelesaikan sampai BAB 3 dan hanya tinggal melanjutkan penelitian, BAB 4 dan
seterusnya. Namun karena hiperbolanya saya (termasuk dalam hal kemalasan),
skripsi tersebut pun tak kunjung terjamah meskipun sebenarnya saya tidak
sesibuk itu sampai harus meninggalkan pekerjaan demi untuk mengerjakan skripsi
saya (hihihi). Sifat hiperbola ini juga yang akhirnya menuntun saya untuk
membuat sebuah program refreshing dan
penenangan pikiran sebelum melanjutkan skripsi, dan Yogyakarta adalah kota yang
saya pilih untuk melaksanakan program ini, mengingat saya memang sudah lama sekali
ingin kembali ke kota ini sejak 5 tahun lalu saya menginjakkan kaki saya untuk
pertamakalinya di kota pelajar ini saat study tour SMA.
Peta Yogyakarta (source : website bpkp) |
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba,
saya meluncur ke stasiun Senen dengan membawa sebuah ransel dan tas jinjing
berisi makanan ringan untuk bekal di kereta. Pukul 20.15 saya tiba di stasiun
dan langsung bertemu Bang Anju yang sudah menunggu di stasiun sejak pukul
19.00. kami mengobrol sebentar dengan salah satu penumpang kereta yang juga
hendak berangkat ke Jogja menggunakan kereta yang sama dengan kami. Beberapa
menit mengobrol, kami pun check in
dan masuk ke dalam kereta. Dan pada saat memasuki gerbong kereta saya mendapati
bahwa Bang Anju telah mengelabuhi saya, karena ternyata tiket kereta yang ia
pesan adalah tiket kelas ekonomi dengan harga Rp 45.000 per tiket dari Jakarta
hingga ke Jogja, tiket kelas ekonomi yang benar-benar ekonomis, tiket kelas
ekonomi dengan kondisi gerbong yang sumpek, panas, dan sangat bau. Ini adalah
kali pertama saya ke luar kota menggunakan kereta, dan kalipertama ini pula saya
gunakan kereta ekonomi seperti ini. Saya sungguh sangat kaget saat itu, tidak
terbayangkan di benak saya harus berada di kereta itu dalam waktu 10 jam lebih.
Sungguh, perasaan saya pada saat itu sangat tidak karuan, saya hanya bengong
sambil berjalan mengikuti Bang Anju yang cengengesan
mencari tempat duduk kami, dan dalam hati saya berfikir “What the fuck am I doing here?”.
Bukannya saya bersikap arogan atau
sombong, tapi biar saya analogikan dan anda coba simpulkan sendiri. Dengan uang
Rp 45.000 di Jakarta mungkin kita hanya bisa mendapatkan satu kali makan siang
di sebuah restoran junk food, tapi di
sini, Rp45.000 itu bisa mengantarkan saya dari Jakarta hingga ke Jogja dengan
waktu tempuh lebih dari 10 jam dan jarak lebih dari 500km. Bisakah terbayangkan
seberapa besar peminimalisiran kondisi kereta demi untuk menutupi operasional
dengan sumbangsih ongkos dari setiap penumpang yang hanya sebesar Rp45.000 dari
Jakarta hingga ke Jogja?
Beginilah sumpeknya tempat duduk di kereta ekonomi kami |
Kereta ekonomi yang kami naiki ini
bernama kereta Progo. Untuk rute Jakarta-Jogja memang hanya kereta ini yang
melayani kelas ekonomi. Dan stasiun keberangkatannya pun hanya di stasiun Senen
untuk di Jakarta, dan stasiun Lempuyangan untuk di Jogja. Beda halnya dengan
kereta kelas eksekutif yang berangkat
dari stasiun Gambir untuk Jakarta dan stasiun Tugu untuk Jogja dengan harga
sekitar Rp 350.000 per tiket dan menurut saya sedikit kurang worth it bila dibandingkan dengan harga
tiket pesawat yang berbeda sedikit dan tentu saja lebih efisien dalam hal
waktu. Kembali lagi soal kereta ekonomi yang kami naiki ini, manajemen yang dilakukan
oleh PT.KAI memang tidak seburuk yang saya gambarkan sebelumnya, dengan sistem penomoran
tempat duduk yang tertib sebenarnya kereta ini sudah cukup baik menurut saya. Hanya
saja fasilitas di dalamnya memang sangat tidak layak, dengan bau toilet yang
sangat menyengat, gerbong tanpa pendingin udara yang membuat suasana mendadak
panas seketika saat berhenti di satu stasiun, sungguh sangat jauh tertinggal di
belakang jika dibandingkan dengan kereta-kereta di Negara lain yang bahkan
sudah menggunakan teknologi super cepat dengan kecepatan rata-rata mencapai 300km/jam.
Tapi untungnya, menurut informasi yang saya dapat kereta ekonomi seperti ini
akan segera ditiadakan dan diganti dengan kelas ekonomi AC. Walaupun tidak
terlalu signifikan paling tidak ada sebuah bentuk langkah awal untuk kemajuan
transportasi Indonesia.
Pemandangan pagi dari balik jendela yang mendamaikan hati |
Kembali pada topik perjalanan ke
Jogja, singkat cerita akhirnya saya dapat melalui 10 jam nestapa di dalam
kereta derita itu dengan selamat (tetap hiperbola). Kenestapaan yang saya
rasakan semalaman sebenarnya agak sedikit terobati oleh suasana pagi yang mampu
membuat saya menghela nafas panjang dan menyunggingkan senyum puas. Hamparan
sawah luas siap panen dan udara sejuk yang membawa aroma jerami kering bakar,
ditambah suara para pedagang klanting dan asongan berlogat jawa yang menjajakan
dagangannya dengan melodi-melodi unik, sungguh sangat khas dan mendamaikan hati
saya. Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 07.00 dan telah disambut
oleh salah satu teman kami yang tinggal di Jogja, Tigor, bersama pacarnya,
Naomi. Tigor sangat kaget melihat saya datang, karena Bang Anju tidak
menginformasikan sebelumnya bahwa saya turut ikut ke Jogja. Setelah berkaget-kaget
ria, kami pun langsung meluncur ke kost Tigor dengan menggunakan 2 motor yang
dibawa oleh Tigor dan Naomi tadi. Sesampainya di kost Tigor kami pun berbenah,
kemudian saya langsung beristirahat sebentar untuk membalas dendam tidur saya
yang tidak tersampaikan selama berada di kereta ekonomi nestapa.
to be continued...
Subscribe to:
Posts (Atom)