Sebuah Analogi
Kau pernah begitu mendambakan telur, dulu.
Rasanya seperti mimpi saat tiba-tiba sepasang telur menclok di jendela kita.
Kau pun lompat kegirangan, kau elus-elus sepasang telur itu.
Kau titipkan satu telur yang lebih kecil dan berwarna coklat muda untuk kujaga, memang kau lebih suka yang berukuran besar dan berwarna terang.
Suatu hari telur besarmu yang berwarna terang itu retak, keluarlah seekor burung mungil dan ringkih berbulu kelam.
Kau menangis tersedu-sedu, karena kau mendambakan telur, bukan burung.
Beberapa hari kemudian burung kecil ringkih berbulu kelam itu menjadi semakin besar dan kuat, kaupun mulai tersenyum.
Nanti dia bisa memberikan kita telur-telur baru, katamu.
Tapi tak lama kemudian burung itu terbang ke langit ketujuh, tak kembali.
Kau pun meratap sesenggukan, kali ini sedihnya 2 kali lipat daripada saat kau kehilangan telurmu yang menetas.
Aku pun bingung, kulihat kota hitamku. Masih ada satu lagi kok, telur kecil berwarna coklat muda yang kau titipkan padaku waktu itu.
Tapi nanti telur yang ini pun juga akan menetas menjadi seekor burung ringkih, sedihmu akan menjadi 4 kali lipat, dan burung ringkih itu pun nanti akan menjadi kuat dan terbang ke langit ketujuh, sedihmu akan menjadi 8 kali lipat.
Jadi kupikir lebih baik kupecahkan saja telurmu yang kecil dan berwarna coklat muda ini, supaya sedihmu hanya akan menjadi 4 kali lipat.
Tanpa tedeng aling-aling kuraih telur kecil coklat muda itu, dan kucampakkan ke sudut daun jendela kita.
Plok! Pecah.
Dan kali ini malah kau yang terbang meninggalkanku.
Jakarta, 8 September 2013
Saat sedang dongkrong di atas jamban.
No comments:
Post a Comment