Unintentionally found this writing that I wrote about 2 years ago. Very simple.
Seorang pria bersama anak laki-lakinya sedang menggotong sebuah kasur kapuk basah dan meletakknya di kursi luar rumahnya untuk dijemur. Banjir telah melanda daerah rumah mereka semalaman ketika mereka sekeluarga sedang pergi. Mereka memang tidak kaget lagi dengan kejadian seperti ini, pasalnya daerah pinggir kali dengan posisi daratan yang lebih rendah seperti daerah mereka ini memang sudah menjadi langganan banjir setiap kali hujan turun.
Pria ini bernama Pak Kardi, dan anak
laki-lakinya tersebut bernama Ali. Sehari-harinya Pak Kardi bekerja sebagai
tukang ojek untuk menghidupi istri dan anak laki-laki semata wayangnya yang
masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Biasanya Kardi mulai datang ke
pangkalan ojek sejak pukul 6 pagi, namun khusus hari ini Kardi sengaja
berangkat agak siang karena hendak membantu istrinya untuk membereskan rumah
yang semalaman terendam banjir. Setelah selesai membereskan rumahnya, Kardi
mengemasi sampah sisa banjir dan membuangnya ke kali belakang rumahnya.
“Ya
gimana ya, saya juga bingung mau buang ke mana. Kalau langganan buang sampah
bulanan saya mana sanggup bayar”. Begitu jawaban Kardi ketika ditanya
mengenai alasannya membuang sampah di kali. Untuk ukuran kaum masyarakat pra
sejahtera Jakarta yang minim pendidikan seperti Kardi ini, banjir memang
dianggap sebagai sebuah bencana yang semata-mata terjadi karena proses amukan
alam secara natural. Mereka kurang menyadari bahwa bajir yang terjadi di
Jakarta selama ini adalah hasil dari ulah manusia sendiri yang kurang peduli
terhadap lingkungan. Kali, yang sebenarnya adalah tempat untuk menampung air
hujan supaya tidak meluap ke daratan, dijadikan tempat pembuangan segala macam
kotoran, baik kotoran yang berupa sampah rumah tangga, maupun kotoran hasil
metabolisme tubuh manusia.
Jakarta, yang saat ini telah dipenuhi
berbagai gedung pencakar langit, memang memiliki daerah resapan air yang sangat
minim. Hal ini pun diperparah dengan keadaan kali Jakarta yang dipenuhi oleh sampah. Tak ayal ketika hujan turun, air yang seharusnya masuk ke dalam tanah menggenang
di daratan, sedangkan air yang seharusnya tertampung di dalam kali pun meluap karena
ketidakberdayaannya untuk menampung air hujan dan sampah sekaligus. Pada akhirnya banjir pun terjadi.
Berbagai macam usaha sosialisasi
penanaman pohon yang yang dilakukan pemerintah dan berbagai lembaga swadaya
masyarakat untuk menambah daerah resapan Jakarta tampak kurang membuahkan hasil.
Bagaimana tidak, masyarakat Jakarta yang sebagian besar sibuk dan tidak
memiliki cukup lahan untuk menanam pohon tentu akan merasa malas untuk
melakukan hal itu, apalagi ajakan untuk menanam pohon hanyalah sebuah himbauan
tanpa realisasi tindakan persuasif. Jangankan mengharapkan masyarakat dengan
sukarela menanam pohon, mengharap untuk tidak membuang sampah sembarangan pun
rasanya sudah sangat sulit. Ketika banjir sudah datang, tinggallah masyarakat
yang pada akhirnya menyalahkan alam karena menitikkan air hujan terlalu banyak.
No comments:
Post a Comment