Wednesday, February 27, 2013

Entrok = Bra



Entrok adalah sebuah novel fiksi sejarah karya Okky Madasari, belatarkan tempat di daerah Jawa pada era 1950-1994. Entrok sendiri merupakan bahasa daerah lokal yang berarti pakaian dalam wanita (bra). Arti entrok sudah dapat saya duga ketika melihat sampul novel yang bergambarkan punggung wanita yang sedang membuka pakaian dalamnya ini. Dengan design sampul horizontal yang cukup menarik dan berbeda dari buku-buku pada umumnya, novel ini berhasil menarik saya untuk membelinya tanpa berfikir panjang.



Novel ini bercerita tentang hubungan Ibu dan anak perempuannya selama dua generasi dengan tokoh utama dari generasi kedua yaitu sang Ibu (Marni) dan anak perempuannya (Rahayu). Cerita berawal sejak Marni masih muda bersama ibunya. Dikisahkan Marni muda adalah seorang gadis dari keluarga miskin yang sangat mendambakan sebuah entrok yang pada saat itu harganya masih sangat mahal. Dengan berbagai upaya Marni berusaha keras untuk dapat membeli sebuah entrok.



Tumbuh dewasa dan menikah, akhirnya Marni memiliki seorang anak perempuan bernama Rahayu yang menjadi putri kesayangan sekaligus “musuh” yang selalu memeranginya. Marni adalah penganut kepercayaan leluhur sedangkan Rahayu adalah pemeluk agama yang taat dan sangat membenci kepercayaan Marni yang dianggap “musyrik”. Tokoh Marni digambarkan sedemikian rupa hingga membuat saya memandang sesuatu yang dianggap “dosa” sebagai sebuah hal yang seharusnya dihargai. Dengan penjabaran situasi dan keadaan yang cukup mendetail, novel ini memberikan saya gambaran yang berbeda mengenai kehidupan masyarakat Indonesia di masa lalu.

Secara pribadi saya melihat novel ini sebagai sebuah bentuk protes dan sindiran atas rendahnya rasa toleransi antar golongan di Indonesia. Sang penulis saya nilai cukup berani untuk mengungkapkan perilaku-perilaku intoleran yang identik dilakukan oleh kelompok tertentu melalui karakter tokoh-tokohnya. Dijabarkan dengan bahasa yang cukup ringan, novel ini cocok dibaca saat sedang santai dan tidak ingin berfikir.

Dengan alur maju mundur, novel ini sukses membuat saya bertanya-tanya dan merasa puas ketika mendapatkan jawaban-jawabannya saat mendekati akhir cerita. Hanya saja, penggunaan beberapa istilah bahasa daerah yang kurang saya mengerti membuat saya harus berkali-kali membuka halaman-halaman sebelumnya untuk kembali melihat artinya. Selain itu alur sangat cepat di awal cerita dan cenderung sangat lambat saat mendekati akhir cerita sempat membuat saya bosan. Namun secara keseluruhan novel ini cukup berkesan dan memberikan saya pelajaran mengenai toleransi antar sesama.